Friday, May 31, 2013
KETELADANAN NABI YUSUF A.S.
Nabi Yusuf adalah putera ke tujuh daripada dua belas putera-puteri Nabi Ya’qub. Ada begitu banyak keteladan yang bias diambil dari beliau. Diantaranya sebagai berikut : 1) BERJIWA KEPEMIMPINAN DAN AHLI EKONOMI Dalam Al Quran tentang kisah Nabi Yusuf. Nabi Yusuf yang menyatakan, "Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun berturut-turut secara sungguh-sungguh, kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan". Dari sini kita dapat belajar bahwa: Pertama, hendaknya bercocok tanam dengan bersungguh-sungguh, yakni dalam perspektif jangka panjang perlu dipikirkan benih, pupuk, teknologi, tantangan alam, dan sebagainya. Kedua, dibiarkan pada tangkainya, mangandung maksud perlunya melakukan upaya penyimpanan dan pengawetan makanan, sebagai perspektif jangka menengah. Ketiga, pengendalian konsumsi dengan makan secukupnya atau mengatur pola makanan, dalam perspektif jangka pendek. Dari sini lah kita dapat mengakui Nabi Yusuf sebagi salah satu `The Best Economist Ever'. Kalau kita percaya firman Allah SWT, seharusnya ini kita jadikan sebagai rujukan. Pelajaran berharga yang dapat diambil teladan dari Nabi Yusuf yakni memenuhi kebutuhan secukupnya, dan bukan keinginan, Selain itu, keteladanan dari Nabi Yusuf lainnya sebagai ciri pemimpin yang baik di antaranya tata kelola yang baik (good governance), berilmu dan tidak harus putra daerah karena Nabi Yusuf sendiri bukan berasal dari Mesir. 2) TAHAN SAAT DIUJI DENGAN WANITA Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh."(Qs Yusuf/12:33) PELAJARAN BERHARGA 1. Nabi Yusuf ‘Alaihissalam lebih memilih menghuni penjara daripada berbuat maksiat. Demikianlah seharusnya seorang hamba, bila di hadapkan pada dua pilihan ujian: berbuat maksiat atau hukuman duniawi, maka ia memilih sanksi duniawi ketimbang melakukan perbuatan dosa yang mendatangkan hukuman berat di dunia dan akhirat. Karena itulah, termasuk dari tanda keimanan, yaitu seorang hamba benci kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan Allah Ta’ala darinya, sebagaimana ia benci dicampakkan ke nyala api. 2. Nabi Yusuf ‘Alaihissalam memilih masuk penjara daripada melakukan kemaksiatan meskipun dibawah ancaman. Sikap ini termasuk dalam kategori tanda kebenaran iman. 3. Nabi Yusuf ‘Alaihissalam memilih bahaya yang lebih ringan. Ini merupakan kaidah syar’iyyah yang telah dipakai oleh ulama-ulama terdahulu, untuk menghindari bahaya yang lebih berat. 4. Menghuni penjara tidak selalu menjadi petunjuk bahwa orang itu berkelakukan buruk. Sebab, seperti dicontohkan, Nabi Yusuf ‘Alaihissalam adalah kekasih Allah Ta’ala . Bahkan masuk penjara bisa menjadi tonggak awal bagi masa depan yang lebih baik. 5. Jika seorang hamba menyaksikan sebuah tempat yang mengandung fitnah dan faktor-faktor penggoda untuk berbuat maksiat, semestinya ia bergegas pergi dan menjauh darinya. 6. Mewaspadai bahaya khalwat, Yaitu berduaan dengan wanita (laki-laki) asing, yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Juga, harus mewaspadai getaran cinta yang ditakutkan memantik bahaya. 7. Hasrat yang muncul pada Nabi Yusuf ‘Alaihissalam terhadap wanita tersebut, yang kemudian ia singkirkan karena Allah, menjadi salah satu tangga yang mengangkatnya kepada Allah menuju kedudukan yang dekat dengan-Nya. 8. Seorang hamba, seharusnya selalu mencari perlindungan kepada Allah dan bernaung di bawah pemeliharaan-Nya ketika berhadapan dengan pemicu-pemicu maksiat, kemudian berlepas diri sikap percaya diri yang ada pada daya dan kekuatan pribadinya. 9. Seseorang tidak terpelihara dari maksiat kecuali karena pertolongan dari Allah Ta’ala . 10. Allah tidak akan menyia-nyiakan keteguhan iman, keseriusan hati, dan usaha seorang hamba yang muhsin. 11. Seseorang yang sudah tercelup keimanan pada hatinya, ia adalah seorang yang ikhlas karena Allah pada semua perbuatannya. Allah Ta’ala akan menyingkirkan berbagai kejelekan, perbuatan keji dan maksiat (dari dirinya) dengan kekuatan iman dan keikhlasannya, sebagai balasan bagi keimanan dan keikhlasannya. Allah Ta’ala telah berfirman, yang artinya:Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. 12. Kisah ini menunjukkan keindahan batin Nabi Yusuf ‘Alaihissalam , yaitu sifat iffah (penjagaan kehormatan diri) yang besar dari godaan maksiat. 13. Sesungguhnya ilmu yang benar dan akal yang sehat akan membimbing pemiliknya kepada kebaikan dan menahannya dari kejelekan. Sebaliknya, kebodohan akan menjerumuskan seseorang selalu memperturutkan bisikan hawa nafsunya, walaupun merupakan maksiat yang berbahaya bagi pelakunya. 14. Kisah dalam ayat ini memperlihatkan tentang buruknya kebodohan, dan celaan bagi orang bodoh (jahil). FARHAN XI IPA 4 (12)
10 Amalan Ringan Pembuka Jalan Menuju Surga Allah
Allah dan Rasul-Nya banyak menyebutkan ganjaran surga dan mengancam dengan adzab neraka untuk memotivasi umat-Nya untuk banyak beramal shalih dan menjauhi segala larangan-Nya. Di samping itu Allah pun telah mengabarkan sifat-sifat surga dan neraka untuk lebih meningkatkan keinginan manusia untuk meraih surga dan menjauhi neraka. Di antara kenikmatan surga, Allah berfirman dalam sebagian ayat-ayat-Nya, antara lain (artinya) : “Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata, seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk, dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan (di dalam surga itu) ada bidadari- bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS Al-Waqi’ah : 15-23) Dalam sebuah hadits, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah Ta’ala berfirman, ‘Surga itu disediakan bagi orang-orang shalih, kenikmatan di dalamnya tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pula pernah terlintas dalam hati.’ Maka bacalah jika kalian menghendaki firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah [32] : 17) (HR. Bukhari & Muslim) Maka membayangkan seberapa besar kenikmatan surga –dan sesungguhnya lebih indah dari yang bisa kita bayangkan– tentu menjadi motivasi kuat bagi orang yang beriman untuk meraihnya. Dan ini adalah bagian dari keimanan terhadap hari akhir dan iman kepada Allah Subhanahu Ta’ala. Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil penulis kitab Asyratus Sa’ah (Tanda-Tanda Hari Kiamat) berkata, “Sesungguhnya percaya kepada Allah, hari akhir, pahala serta siksaan memberi arah yang nyata terhadap perilaku manusia untuk berbuat kebaikan. Tidak ada undang-undang ciptaan manusia yang mampu menjadikan perilaku manusia tetap tegak dan lurus seperti beriman kepada hari akhir. Oleh karena itu, dalam masalah ini akan ada perbedaan perilaku antara (orang yang tak beriman kepada Allah dan hari akhir) dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta dia mengetahui bahwa dunia adalah tempat simpanan akhir sedang amal shalih adalah bekal untuk akhirat, sebagaimana firman Allah (artinya) : ....Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa ...” (QS. Al-Baqarah : 197) Dan sebagaimana komentar sahabat Umair Ibnu Hamam, “Menuju kepada Allah tak ada bekal lain kecuali takwa, amal akhirat dan sabar karena Allah dalam perjuangan. Dan semua bekal akan habis kecuali takwa, berbuat baik dan mencari petunjuk.” Nampak perbedaan antara perilaku orang beriman dengan yang tidak beriman kepada Allah, hari akhir, pahala dan siksaan. Maka bagi orang yang percaya hari pembalasan dia akan berbuat dengan melihat kepada timbangan langit, bukan timbangan bumi. Dan dia akan melihat hisab akhirat, bukan hisab dunia. Dia akan mempunyai perilaku tersendiri dalam kehidupan. Kita akan melihatnya istiqamah dan dalam berpikir, iman, tabah dalam kesulitan, sabar atas bencana demi mencari pahala, dan dia mengerti bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal. Jalan menuju surga memang dipenuhi onak dan duri. Akan tetapi sesungguhnya ada banyak amalan-amalan yang mudah dilakukan namun Allah membalasnya dengan ganjaran yang sangat besar. Berikut ini kami disajikan 10 amalan yang insya Allah ringan diamalkan namun bisa membawa pelakunya ke surga : 1. Berdzikir Kepada Allah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Ada dua kalimat yang ringan bagi lisan, berat dalam mizan (timbangan amal) dan dicintai Ar-Rahmaan : ‘Subhanallahu wa bihamdih’ (Maha Suci Allah dan dengan pujian-Nya kami memuji) ‘Subhanallah Al-Azhiim’ (Maha Suci Allah Dzat Yang Maha Agung).” (HR. Bukhari dan Muslim) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Saya membaca : ‘Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar’, sungguh aku lebih cintai daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no 2695 dan At-Tirmidzi) Dalam hadits lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Tidaklah seorang manusia mengamalkan satu amalan yang dapat menyelamatkannya dari adzab Allah melainkan dzikir kepada Allah.” (HR. Ath-Thabrani dengan sanad yang hasan dan Al-Allamah Ibnu Baz menjadikannya hujjah dalam kitab Tuhfah Al-Akhyaar) 2. Meridhai Allah, Islam dan Rasulullah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba muslim mengucapkan pada saat dia memasuki waktu pagi dan memasuki waktu petang : ‘radhiitu billahi rabba, wa bil islaami diina wa bi muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam nabiya (Aku ridha Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabi-ku)’ sebanyak tiga kali, melainkan merupakan hak bagi Allah untuk meridhainya pada hari kiamat kelak.”(HR. Ahmad dan dihasankan oleh Al-Allamah Ibnu Baz dalam kitab Tuhfah Al-Akhyaar) 3. Menuntut Ilmu Syar’i Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no 2699) 4. Menahan Marah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa yang menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, niscaya Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan para makhluk sampai Allah memilihkan untuknya bidadari-bidadari yang dia suka.” (Dihasankan oleh Imam At-Tirmidzi dan disepakati oleh Syaikh Al-Albani) 5. Membaca Ayat Kursi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa yang membaca Ayat Kursi setiap selesai shalat, maka tidak ada yang dapat menghalanginya untuk masuk surga kecuali jika dia mati.” (HR. an-Nasaa’i dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani) Maksudnya adalah jika dia mati, dia akan masuk surga dengan rahmat dan karunia Allah ‘Azza wa Jalla. 6. Menyingkirkan Gangguan di Jalan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sungguh aku telah melihat seorang lelaki mondar-mandir di dalam surga dikarenakan sebuah pohon yang dia tebang dari tengah jalan yang selalu mengganggu manusia.” (HR. Muslim) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Ada seorang lelaki berjalan melewati ranting pohon yang ada di tengah jalan, lalu dia berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku akan singkirkan ranting ini dari kaum muslimin agar tidak menganggu mereka.’ Maka dia pun dimasukkan ke dalam surga.” (HR. Muslim) 7. Membela Kehormatan Saudaranya di Saat Ketidakhadirannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa membela harga diri saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan memalingkan wajahnya dari api neraka.”(Dihasankan oleh Imam At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani) Dalam hadits lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa yang Allah lindungi dari keburukan apa yang ada di antara kedua rahangnya (yaitu mulut) dan keburukan yang ada di antara dua pahanya (yaitu kemaluannya), niscaya dia akan masuk surga.” (Dihasankan oleh Imam At-Tirmidzi dan disepakati oleh Syaikh Al-Albani) 8. Menjauhi Debat Kusir Walaupun Benar Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, “Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani) 9. Berwudhu’ Lalu Shalat Dua Raka’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ”Tidaklah seorang muslim berwudhu’ lalu dia baguskan wudhu’nya, kemudian dia berdiri shalat dua raka’at dengan menghadapkan hatinya dan wajahnya pada kedua raka’at itu, melainkan surga wajib baginya.” (HR. Muslim) 10. Pergi Shalat ke Masjid Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan untuk menuju masjid, mereka akan mendapatkan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang pergi ke masjid atau pulang dari masjid, niscaya Allah akan persiapkan baginya nuzul di dalam surga setiap kali dia pergi dan pulang.” (HR. Bukhari dan Muslim) Imam An-Nawawi berkata, “Nuzul adalah makanan pokok, rizki dan makanan yang dipersiapkan untuk tamu.” Kiriman : Khaerul Anam XII IPS 1
Monday, May 27, 2013
Jeritan wanita Barat dan kekagumannya kepada wanita Muslimah

Sunday, May 26, 2013
Kaidah Halal Haram Dalam Jual Beli
Hukum halal dan haram dalam Islam telah diatur dengan sangat jelas. Hal ini merupakan salah satu karunia Allah dan bukti nyata atas kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah n . Bila tidak, mungkin akan banyak dijumpai hal-hal yang saling bertolak belakang dalam masalah hukum dan kaidahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, maka mereka berada dalam kadaan kacau-balau” [Qaaf : 5] Di antara makna kesempurnaan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dianugerahi kemampuan mengungkapkan dengan bahasa verbal, sederhana tetapi padat dan jelas isi kandungannya. Sebagai contoh mengenai kaidah umum dalam masalah perintah dan larangan; bahwa tidaklah suatu perintah atau larangan, melainkan di dalamnya mengandung kemaslahatan dan manfaat, baik ditinjau dari sisi agama maupun kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “(Ia) yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [al A’raf : 157] Pada pembahasan masalah mu’amalah dan jual beli, hukum asalnya adalah boleh dan halal. Tidak ada larangan dan tidak berstatus haram, sampai didapatkan dalil dari syariat yang menetapkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. [al Baqarah : 275]. Sepanjang ridha, kejujuran, keadilan melekat dalam suatu proses mu’amalah dan jual beli, tanpa ada unsur kebatilan dan kezhaliman, bentuk transaksi itu diperbolehkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”. [an Nisa : 29]. Syariat Islam dengan hikmah dan rahmatnya, mengharamkan apa yang membahayakan terhadap agama dan dunia. Kaidah penting yang kami angkat pada pembahasan kali ini berhubungan dengan riba, penipuan, dan perjudian, disertai dengan penjelasan kaidah-kaidah penting lainnya. KAIDAH PERTAMA : Tentang Riba Al Qur`an, hadits dan ijma ulama Islam telah menetapkan haramnya riba. Ketetapan ini bersesuaian dengan asas keadilan dan qiyas (analogi) yang shahih. Yang dimaksud dengan riba adalah, setiap tambahan yang ada dalam barang-barang tertentu [1]. Riba terbagi menjadi dua, bisa juga menjadi tiga. Yaitu: riba fadhl, riba nasiah dan riba al qordh. Riba fadhl (tambahan), yaitu jual beli uang dengan uang, makanan dengan makanan, dengan ada penambahan di salah satu dari kedua barang tersebut [2]. Misalnya jual beli dua barang yang ditakar (ditimbang) dengan berbagai tingkatan kualitasnya, antara satu dengan yang lain tidak sama takaran atau timbangannya. Padahal dalam jual beli ini harus memenuhi dua syarat, yaitu sama persis ukuran (timbangnya) dan diserahkan dalam satu waktu atau tempat transaksi (spontan). Konkretnya, jual beli 1 kg kurma harus ditukar dengan 1 kg kurma, karena jenisnya sama maka harus serupa pula timbangannya. Dan tidak boleh 1 kg kurma ditukar dengan 2 kg kurma walaupun berbeda kualitasnya. Selama berada dalam satu jenis, maka harus sama takaran (timbangannya). Riba nasi-ah, definisinya, mengakhirkan penyerahan barang (setelah transaksi) dalam setiap jenis barang yang serupa illahnya (pangkal alasan dari suatu hukum), sebagaimana illah yang terdapat dalam riba fadhl.[3] Riba ini sangat menyusahkan orang dan diharamkan. Riba ini merupakan jual beli antara dua macam barang yang ditakar atau ditimbang, yang satu diberikan sekarang dan yang lainnya diberikan pada lain waktu sesuai kesepakatan. Baik antara jenis yang sama seperti gandum dengan gandum, atupun berbeda jenisnya semisal gandum dengan kurma, atau kurma dengan kismis. Setiap yang berlaku dalam riba fadhl dalam jenis barangnya, berlaku juga untuk riba nasi-ah, akan tetapi, terkadang yang tidak diperbolehkan dalam riba nasi-ah diperbolehkan dalam riba fadhl (dengan berbeda selisih takaran/timbangan) bila berlainan jenis. Missal, jual beli kurma 2 kg dengan kismis/anggur kering 1 kg ( berbeda jenisnya) dibolehkan apabila diberikan di tempat transaksi, langsung antara penjual dan pembeli sebelum berpisah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda” [Ali Imron:130] Dahulu, orang-orang Jahiliyah bila telah jatuh tempo pembayaran hutang, orang yang menghutangkan berkata kepada orang yang berhutang: “bayar sekarang atau engkau membayarnya nanti tetapi harus dengan tambahan dari jumlah nominal hutang”. Baik dengan bahasa terang-terangan ataupun dengan ungkapan kiasan (halus yang tendensius), hukumnya haram. Riba al qord, gambarannya adalah seseorang yang menghutangkan uang kepada orang lain dengan mensyaratkan tambahan manfaat (jasa). Sebagai contoh, Fulan A menghutangkan kepada Fulan B dengan syarat B sudi meminjamkan rumah atau kendaraan, atau setiap pekan (bulan) beras 1 kg kepada A. Hal ini termasuk riba, dan bukan sekedar hutang. Karena tujuan menghutangkan ialah untuk berbuat baik dan menebar kasih-sayang kepada sesama. Perbuatan ini berlawanan dengan tujuannya. Bahkan hakikatnya, praktek ini merupakan jual beli uang dengan uang, dengan tenggang tempo, riba yang ada diambilkan dari manfaat yang telah menjadi kesepakatan bersyarat. Ketiga macam riba di atas diharamkan oleh Allah dan RasulNya, karena hal itu merupakan kezhaliman dan bertentangan dengan keadilan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [al Baqarah : 279] Bila ada yang mengatakan “bagaimana hal ini bisa dikatakan sebagai kezhaliman, padahal orang ini sudah rela dengan kesepakatan yang terjadi untuk membayar dengan sejumlah kelebihan tertentu?” Maka jawabnya bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, harus dipahami hakikat kezhaliman yang ada adalah mengambil harta dengan tanpa hak (alasan yang diperbolehkan syariat). Seseorang yang tidak bisa membayar karena kesusahan, seharusnya ditunda pembayarannya. Mengambil tambahan dari jumlah yang semestinya ia ambil (nominal hutang, Red) adalah kezhaliman. Selain itu, keridhaan yang ada dalam diri seseorang harus bersesuaian syariat. Bila syariat melarang walaupun ia ridha, maka kerelaannya tidak memiliki arti. Kedua, pada hakikatnya ia tidak ridha atau terpaksa untuk menerimanya. Karena ia khawatir bila tidak diberikan pinjaman. Orang yang berakal tidak akan ridha dengan kewajiban membayar uang yang berlipat ganda yang tidak pernah ia manfaatkan. Juga dapat dikatakan, ia telah berbuat zhalim kepada dirinya sendiri, karena hakikatnya ia telah melemparkan dirinya kepada kebinasaan dan azab akhirat, karena dengan sengaja telah melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Gambaran kezhaliman ini sangat jelas dalam praktek riba nasi-ah. Sedangkan riba fadhl diharamkan sebagai upaya menutup akses menuju riba nasi-ah. Jenis Barang Yang Masuk Dalam Kategori Riba Tidak setiap barang pada transaksi yang berbeda jumlahnya dikatakan riba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan enam macam yang dikatakan riba, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sejenis dengan sejenisnya, saling sama jumlahnya, tangan dengan tangan (langsung diserahkan saat transaksi terjadi). Bila berbeda jenis-jenis ini, maka jual sekehendak kalian, tetapi harus diserahkan saat transaksi.[4] Keenam macam barang ini telah disepakati masuk dalam kategori riba. Kemudian para ulama berbeda pendapat, apakah barang selainnya dapat diqiaskan kepada keenam macam tersebut apa tidak? Jumhur ulama berpendapat, bahwa selainnya dapat diqiaskan kepada keenam macam tersebut, bila sesuai dengan illah (alasan) yang ada. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa illah emas dan perak dalam hadits adalah tsamaniyyah (alat tukar) sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih al Fauzan dan as Sa’di. Sedangkan Syaikh al ‘Utsaimin memiliki pandangan, bahwa pendapat yang paling dekat (kebenaran)nya bahwa illah yang terkandung dalam emas dan perak karena dzat emas dan peraknya, baik yang berupa mata uang atau bukan.[5] Adapun illah yang terdapat dalam gandum, tepung, kurma dan garam adalah sebagai barang yang ditakar dan makanan (dikonsumsi).[6] Jadi dapat disimpulkan, segala jenis barang yang illahnya sama dengan keenam macam tersebut, bisa dimasukkan ke dalam masalah riba. Contoh dalam riba fadhl. Bila barang yang sama jenis dan macamnya, semisal beras ditukar dengan beras, maka dalam jual belinya harus memenuhi dua syarat, yaitu sama ukurannya dan diberikan di tempat akad serta dalam satu waktu, tidak boleh barang yang satu diberikan sekarang sedangkan barang lainnya diserahkan keesokan harinya. Jadi 1 kg beras tidak boleh ditukar dengan 2 kg beras. Walaupun berbeda kualitasnya. Bila ada yang mengatakan, mengapa hal ini dilarang, padahal perbedaan kualitas mempengaruhi harga? Maka jawabnya, itulah Islam yang hukumnya penuh dengan segala kesigapan untuk menutup segala celah penipuan dan perbuatan aniaya lain yang lebih besar. Hal seperti ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yakni, ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menjual kurma jenis jelek dengan jumlah yang lebih banyak dengan kurma berkualitas baik dengan takaran yang lebih sedikit. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengembalikannya, seraya berkata: “Ini adalah riba,” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menjual terlebih dahulu kurma yang jelek dengan dirham (uang), kemudian baru dibelikan (dengan dirham tersebut) kurma yang baik.[7] Oleh karena itu, bila diketahui jenis dan macamnya sama, maka sebaiknya salah satunya diuangkan terlebih dahulu, baru kemudian ditukarkan dengan yang lebih rendah atau tinggi kualitas ataupun banyaknya, untuk lebih menghindari hal-hal yang mengandung unsur riba’. Bila berbeda jenis barang, tapi masih termasuk barang yang berkategori riba, maka boleh berbeda ukurannya, dengan syarat harus diserahterimakan dalam satu tempat dan tempo ketika transaksi. Tatkala berbeda jenisnya, baik kedua-duanya tidak masuk kategori riba atau hanya salah satunya saja, maka boleh berbeda takarannya serta dapat dijual diluar waktu dan tempat transaksi tersebut. Dr. Abdullah ‘Aziz Badawi berkata,”Apabila enam jenis (termasuk barang yang diqiaskan kepadanya, pent) dijual dengan barang yang berbeda jenis dan illahnya, misalnya emas dengan gandum, perak dengan garam, maka dibolehkan terjadinya selisih jumlah (tafadhul) dan dapat diakhirkan penyerahannya (nasi-ah).[8] Dapat kita simpulkan, bahwa dalam masalah jual beli dapat di bagi menjadi empat macam. 1. Bila jual beli dalam satu jenis barang (jenis, macam dan illahnya sama) yang berkategori riba, maka diharamkan tafadhul (tambahan atau selisih jumlah barang) dan nasi-ah (menunda penyerahan barang). Misalnya, kurma dengan kurma, maka harus sama jumlahnya dan tidak boleh nasi-ah. 2. Bila dalam dua jenis yang serupa illah riba fadhlnya (misal, kurma dan gandum illahnya sama, yaitu timbangan atau takaran dan makanan), maka diharamkan nasi-ah dan dibolehkan terjadinya tafadhul. Misal, kurma 2 kg dengan gandum 1 kg, emas 10 gr dengan perak 30 gr. Hal ini boleh tafadhul, tapi dilarang nasi-ah. 3. Bila di antara dua jenis berbeda yang masih dalam kategori riba yang tidak serupa illahnya (jenisnya berbeda tapi masih dalam jenis barang yang masuk dalam kategori riba), maka boleh tafadhul dan nasi-ah. Misal, kurma dengan emas. Illah kurma takaran dan makanan, illah emas karena emas barang yang sangat bernilai. 4. Bila di antara barang yang tidak dalam kategori riba (baik salah satunya atau keduanya), maka boleh nasi-ah dan tafadhul. Semisal, emas dengan pakaian, atau pakain dengan buku. KAIDAH KEDUA : Haramnya Mu’amalah Yang Mengarah Kepada Tipu Daya dan Bahaya Al Qur`an, as Sunnah dan kaum Muslimin sepakat tentang haramnya judi. Judi atau taruhan ada dua macam. Yaitu taruhan yang berbentuk saling menjatuhkan atau dengan jaminan tertentu. Semuanya diharamkan oleh syari’at. Kecuali bila digunakan sebagai wasilah (media) dalam hal ketaatan dan untuk berjihad di jalan Allah. Contohnya, taruhan dalam lomba berkuda, menyetir dan memanah. Macam kedua, bentuk taruhan dalam bermu’amalah sebagaimana yang telah Nabi larang terhadap segala jenis jual beli yang mengandung penipuan. Karena bahaya dan kerugian yang dapat dialami oleh kedua belah pihak. Para ahli fiqih memberikan syarat dalam transaksi agar harga dan barang harus jelas untuk menghindari tipu muslihat yang mungkin terjadi. Misal dari praktek ini antara lain: jual beli janin yang masih di dalam perut induknya, jual beli dengan cara mulamasah (siapa yang telah meraba atau memegang barang, maka langsung dianggap telah membeli), munabadzah (dengan melempar atau saling melempar antara keduanya dengan lemparan batu, maka yang terkena itulah yang harus dibeli atau dijual), dan sebagainya. Di antara praktek jual beli yang unsur penipuannya relatif kecil atau samar, para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya. Walaupun mereka sepakat dengan kaidah ini. Perbedaan yang terjadi dikarenakan berbedanya sisi pandang dalam menyikapi permasalahan yang muncul. Apakah ia masuk dalam kaidah ini, ataukah tidak? Yang benar adalah, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat, apakah itu merupakan penipuan ataukah bukan? Contohnya, perkataan “aku menjual barang ini seharga para pedagang yang lain”, atau dalam jual beli kacang yang masih dalam tanah, dan sebagainya. Karena itu, disyaratkan juga dalam masalah jual beli, mampu untuk menghadirkan barang kepada pembeli. Ini semua untuk menghindari tipu daya yang mungkin dilakukan. Contoh lain dalam kaidah ini, jual beli antara dua barang yang satu dalam bentuk takaran yang jelas, yang lainnya menggunakan perkiraan. Karena bisa jadi, apa yang dikira-kira lebih sedikit dari hak yang seharusnya diterima, atau bisa jadi lebih banyak dari yang semestinya. Hikmah yang terkandung dari haramnya taruhan atau undian ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.[al Maidah : 90-91] KAIDAH KETIGA : Jual Beli Berupa Penipuan Transaksi model ini diharamkan di dalam Kitabullah, Hadits dan Ijma ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa yang berbuat tipu muslihat, maka ia bukan dari golongan kami.” Tipu muslihat yang dimaksud, yaitu mencakup segala jenis mu’amalah, baik dalam perdagangan, musyarokah (syarikat) dan sebagainya. Baik dengan cara penyamaran atau dengan menyembunyikan kondisi barang yang sebenarnya, ia poles luarnya sehingga menjadi kelihatan baik dan bagus, padahal di dalamnya atau barang lainnya penuh dengan cacat. KAIDAH KEEMPAT : Ridha Syar’i Dari Kedua Belah Pihak Kaidah ini berlandaskan al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ ulama. Kaidah ini berlaku dalam segala jenis, baik dalam akad transaksi jual beli, sewa-menyewa, musyarokah, hadiah, wakaf, dan sebagainya. Ridha seseorang dapat diketahui melalui perkataannya, atau segala sesuatu yang mengisyaratkan sikap ridhanya, baik lisan ataupun tindakan. Kata ridha diiringi dengan sifat syar’i. Tujuannya, dimaksudkan untuk meniadakan ridha anak kecil, orang dungu, orang gila dan orang-orang yang tidak dibebani dengan kewajiban hukum. Karena ridha mereka tidak berarti, dan setiap transaksi mereka diwakilkan oleh walinya. Penting untuk diketahui, bahwa ridha yang dianggap benar dan sah dari kedua belah pihak yang bertransaksi, harus bersesuaian dengan syari’at. Bila syari’at melarang transaksi tersebut, maka tetap haram walaupun manusia meridhainya. KAIDAH KELIMA : Akad Harus Berasal Dari Pemilik Barang, Pemiliki Hak atau Wakilnya Kaidah ini berdasarkan dalil al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ serta Qias yang shahih untuk berlaku adil. Pemilik barang atau jasa dan wakilnya, merekalah yang berhak untuk menentukan segalanya, baik untuk meneruskan transaksi atau membatalkannya. Atas dasar itu, seseorang yang ingin menjual barang, meminjamkan, menghadiahkan, mewasiatkan, mewakafkan, atau menggadaikannya dan sebagainya, tetapi dia bukan sebagai pemiliknya, maka mu’amalah tersebut tidak sah, sampai mendapatkan ia izin dari pemiliknya. Masih berkaitan dengan kaidah ini, seseorang tidak berwenang dengan barang yang belum sempurna akad transaksinya, sampai ia telah resmi menjadi pemilik barang tersebut, baik dengan meletakkan barang di rumahnya atau dalam genggaman tangannya, dan tanda kepemilikan lainnya. Contoh lain dari kaidah ini, pemilik barang yang masih tersangkut dengan hak orang lain. Misalnya, barang yang digunakan untuk jaminan atau barang yang merupakan milik patungan dengan orang lain, maka pemilik barang tidak boleh secara mutlak untuk bertransaksi, kecuali setelah mendapat izin dari syarikatnya atau yang memiliki kepentingan dengan barang tersebut. KAIDAH KEENAM DAN KETUJUH : Akad Yang Mengandung Unsur Meninggalkan Perkara Wajib Atau Perbuatan Haram, Maka Transaksinya Menjadi Haram Dan Tidak Sah. Hal ini telah disebutkan di beberapa tempat. Semisal yang telah disebutkan dalam surat al Jumu’ah tentang haram dan tidak sahnya akad jual beli yang dilakukan setelah adzan Jum’at bagi laki-laki yang telah diwajibkan shalat Jum’at. Setiap amalan yang menyibukkan dia sehingga meninggalkan kewajiban, maka amalan tersebut haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi” [al Munafiqun : 9]. Demikian juga, jual beli yang digunakan untuk yang haram, seperti anggur yang digunakan untuk minuman keras, senjata yang digunakan untuk merampok atau membunuh, maka diharamkan dan tidak sah. Wallahu a’lam bish shawab. Maraji` : - Fiqh wa Fatawa al Buyu`, karya as Sa’di, Fatawa wa Qawaid Tatallaqu bi Ahkami al Buyu`, hlm. 241-263. Cet. Adhwa-u as Salaf. - Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh al ‘Utsaimin, Jilid 8, Cet. Muassasah Salam. - Al Mulakhas al Fiqhi, Shalih al Fauzan, Jilid 2, Cet. Daar Ibn al Jauzi. - Al Wajiz, ‘Abdul ‘Azhim Badawy, Cet. Ibn Rajab. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1424H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] dalam Rumah madina.com
Al Qur’an Menjawab Misteri Pembangunan Piramida Mesir Kuno

Subscribe to:
Posts (Atom)