Wednesday, July 4, 2012
AL QUR'AN DI TENGAH PERKEMBANGAN ILMU
Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu
Sebelum berbicara tentang masalah tersebut, terlebih dahulu perlu diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam tulisan ini.
Al-Quran menggunakan kata 'ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali.
Antara lain sebagai "proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan" (QS 2:31-
32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada pembicaraan tentang sumbersumber ilmu di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya.
Sementara ini, ahli keislaman berpendapat bahwa ilmu menurut Al-Quran mencakup
segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa
kini maupun masa depan; fisika atau metafisika.
Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para filosof --Muslim atau non-
Muslim-- pada masa-masa silam, atau klasifikasi yang belakangan ini dikenal seperti,
antara lain, ilmu-ilmu sosial, maka pemikir Islam abad XX, khususnya setelah Seminar
Internasional Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu
menjadi dua katagori:
1. Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera
dalam Al-Quran dan Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya.
2. Ilmu yang dicari (acquired kno wledge) termasuk sains kealaman dan terapannya
yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan
pengalihan antarbudaya selama tidak bertentangan dengan Syari'ah sebagai
sumber nilai.
Dewasa ini diakui oleh ahli- ahli sejarah dan ahli-ahli filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh komunitas ilmuwan sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah alam materi.
Di sinilah terletak salah satu perbedaan antara ajaran Al-Quran dengan sains tersebut. Al- Quran menyatakan bahwa objek ilmu meliputi batas-batas alam materi (physical world),karena itu dapat dipahami mengapa Al-Quran di samping menganjurkan untuk mengadakan observasi dan eksperimen (QS 29:20), juga menganjurkan untuk
menggunakan akal dan intuisi (antara lain, QS 16:78).
Hal ini terbukti karena, menurut Al-Quran, ada realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, sehingga terhadapnya tidak dapat dilakukan observasi atau eksperimen seperti yang ditegaskan oleh firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa yang tidak dapat kamu lihat (QS 69:38-39). Dan,Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang tidak dapat kamu melihat mereka (QS 7:27).
"Apa-apa" tersebut sebenarnya ada dan merupakan satu realitas, tapi tidak ada dalam
dunia empiris. Ilmuwan tidak boleh mengatasnamakan ilmu untuk menolaknya, karena
wilayah mereka hanyalah wilayah empiris. Bahkan pada hakikatnya alangkah banyaknya
konsep abstrak yang mereka gunakan, yang justru tidak ada dalam dunia materi seperti
misalnya berat jenis benda, atau akar-akar dalam matematika, dan alangkah banyak pula
hal yang dapat terlihat potensinya namun tidak dapat dijangkau hakikatnya seperti
cahaya.
Hal ini membuktikan keterbatasan ilmu manusia (QS 17:85). Kebanyakan manusia hanya
mengetahui fenomena. Mereka tidak mampu menjangkau nomena (QS 30:7). Dari sini
dapat dimengerti adanya pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh Al-Quran dan
yang --di sadari atau tidak-- telah diakui dan dipraktekkan oleh para ilmuwan, seperti yang diungkapkan di atas.
Pengertian ilmu dalam tulisan ini hanya akan terbatas pada pengertian sempit dan terbatas tersebut. Atau dengan kata lain dalam pengertian science yang meliputi pengungkapan sunnatullah tentang alam raya (hukum-hukum alam) dan perumusan hipotesis-hipotesis yang memungkinkan seseorang dapat mempersaksi peristiwa-peristiwa alamiah dalam kondisi tertentu.
Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan ketika berbicara tentang kandungan Al-
Quran, bahwa Kitab Suci ini antara lain menganjurkan untuk mengamati alam raya,
melakukan eksperimen dan menggunakan akal untuk memahami fenomenanya, yang
dalam hal ini ditemukan persamaan dengan para ilmuwan, namun di lain segi terdapat
pula perbedaan yang sangat berarti antara pandangan atau penerapan keduanya.
Sejak semula Al-Quran menyatakan bahwa di balik alam raya ini ada Tuhan yang wujud-
Nya dirasakan di dalam diri manusia (antara lain QS 2:164; 51:20-21), dan bahwa tandatanda wujud-Nya itu akan diperlihatkan-Nya melalui pengamatan dan penelitian manusia, sebagai bukti kebenaran Al-Quran (QS 41:53).
Dengan demikian, sebagaimana Al-Quran merupakan wahyu-wahyu Tuhan untuk
menjelaskan hakikat wujud ini dengan mengaitkannya dengan tujuan akhir, yaitu
pengabdian kepada-Nya (QS 51-56), maka alam raya ini --yang merupakan ciptaan-Nya--
harus berfungsi sebagaimana fungsi Al-Quran dalam menjelaskan hakikat wujud ini dan
mengaitkannya dengan tujuan yang sama. Dan dengan demikian, ilmu dalam pengertian
yang sempit ini sekalipun, harus berarti: "Pengenalan dan pengakuan atas tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing
manusia ke arah pengenalan dan pengakuan akan 'tempat' Tuhan yang tepat di dalam
tatanan wujud dan keperluan."
Dalam definisi ini kita lihat bahwa konsep tentang "tempat yang tepat" berhubungan
dengan dua wilayah penerapan. Di satu pihak, ia mengacu kepada wilayah ontologis yang
mencakup manusia dan benda-benda empiris, dan di pihak lain kepada wilayah teologis
yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan etis.
Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan bagaimana Al-Quran selalu mengaitkan
perintah-perintahnya yang berhubungan dengan alam raya dengan perintah pengenalan
dan pengakuan atas kebesaran dan kekuasaan-Nya. Bahkan, ilmu --dalam pengertiannya
yang umum sekalipun-- oleh wahyu pertama Al-Quran (iqra'), telah dikaitkan dengan
bismi rabbika. Maka ini berarti bahwa "ilmu tidak dijadikan untuk kepentingan pribadi,regional atau nasional, dengan mengurbankan kepentingan-kepentingan lainnya". Ilmu pada saat --dikaitkan dengan bismi rabbika-- kata Prof. Dr. 'Abdul Halim Mahmud,Syaikh Jami' Al-Azhar, menjadi "demi karena (Tuhan) Pemeliharamu, sehingga harus dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya, warga masyarakat dan bangsanya. Juga kepada manusia secara umum. Ia harus membawa kebahagiaan dan cahaya ke seluruh penjuru dan sepanjang masa."
Ayat-ayat Al-Quran seperti antara lain dikutip di atas, disamping menggambarkan bahwa
alam raya dan seluruh isinya adalah intelligible (dapat dijangkau oleh akal dan daya
manusia), juga menggarisbawahi bahwa segala sesuatu yang ada di alam raya ini telah
dimudahkan untuk dimanfaatkan manusia (QS 43:13). Dan dengan demikian, ayat-ayat
sebelumnya dan ayat ini memberikan tekanan yang sama pada sasaran ganda: tafakkur
yang menghasilkan sains, dan tashkhir yang menghasilkan teknologi guna kemudahan
dan kemanfaatan manusia. Dan dengan demikian pula, kita dapat menyatakan tanpa ragu
bahwa "Al-Quran" membenarkan --bahkan mewajibkan-- usaha-usaha pengembangan
ilmu dan teknologi, selama ia membawa manfaat untuk manusia serta memberikan
kemudahan bagi mereka.
Tuhan, sebagaimana diungkapkan Al-Quran, "menginginkan kemudahan untuk kamu dan
tidak menginginkan kesukaran" (QS 2:85). Dan Tuhan "tidak ingin menjadikan sedikit
kesulitan pun untuk kamu" (QS 5:6). Ini berarti bahwa segala produk perkembangan ilmu
diakui dan dibenarkan oleh Al-Quran selama dampak negatif darinya dapat dihindari.
Saat ini, secara umum dapat dibuktikan bahwa ilmu tidak mampu menciptakan
kebahagiaan manusia. Ia hanya dapat menciptakan pribadi-pribadi manusia yang bersifat
satu dimens i, sehingga walaupun manusia itu mampu berbuat segala sesuatu, namun
sering bertindak tidak bijaksana, bagaikan seorang pemabuk yang memegang sebilah
pedang, atau seorang pencuri yang memperoleh secercah cahaya di tengah gelapnya
malam.
Bersyukur kita bahwa akhir-akhir ini telah terdengar suara-suara yang menggambarkan
kesadaran tentang keharusan mengaitkan sains dengan nilai- nilai moral keagamaan.
Beberapa tahun lalu di Italia diadakan suatu permusyawaratan ilmiah tentang "cultural
relations for the future" (hubungan kebudayaan di kemudian hari) dan ditemukan dalam
laporannya tentang "reconstituting the human community" yang kesimpulannya, antara
lain, sebagai berikut: "Untuk menetralkan pengaruh teknologi yang menghilangkan
kepribadian, kita harus menggali nilai- nilai keagamaan dan spiritual."
Apa yang diungkapkan ini sebelumnya telah diungkapkan oleh filosof Muhammad Iqbal,
yang ketika itu menyadari dampak negatif perkembangan ilmu dan teknologi. Beliau
menulis: "Kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal, yaitu penafsiran spiritual atas
alam raya, emansipasi spiritual atas individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara universal yang akan menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar spiritual."
Apa yang diungkapkan itu adalah sebagian dari ajaran Al-Quran menyangkut kehidupan
manusia di alam raya ini, termasuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Segi lain yang tidak kurang pentingnya untuk dibahas dalam masalah Al-Quran dan ilmu
pengetahuan adalah kandungan ayat-ayatnya di tengah-tengah perkembangan ilmu.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa salah satu pembuktian tentang kebenaran Al-
Quran adalah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkan. Memang
terbukti, bahwa sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal pada masa turunnya, namun terbukti kebenarannya di tengahtengah perkembangan ilmu, seperti:
? Teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) (QS 51:47).
? Matahari adalah planet yang bercahaya sedangkan bulan adalah pantulan dari
cahaya matahari (QS 10:5).
? Pergerakan bumi mengelilingi matahari, gerakan lapisan- lapisan yang berasal dari
perut bumi, serta bergeraknya gunung sama dengan pergerakan awan (QS 27:88).
? Zat hijau daun (klorofil) yang berperanan dalam mengubah tenaga radiasi
matahari menjadi tenaga kimia melalui proses fotosintesis sehingga menghasilkan
energi (QS 36:80). Bahkan, istilah Al-Quran, al-syajar al-akhdhar (pohon yang
hijau) justru lebih tepat dari istilah klorofil (hijau daun), karena zat- zat tersebut bukan hanya terdapat dalam daun saja tapi di semua bagian pohon, dahan dan
ranting yang warnanya hijau.
? Bahwa manusia diciptakan dari sebagian kecil sperma pria dan yang setelah
fertilisasi (pembuahan) berdempet di dinding rahim (QS 86:6 dan 7; 96:2).
Demikian seterusnya, sehingga amat tepatlah kesimpulan yang dikemukakan oleh Dr.
Maurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern, bahwa tidak satu
ayat pun dalam Al-Quran yang bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari sini ungkapan "agama dimulai dari sikap percaya dan iman", oleh Al-Quran, tidak
diterima secara penuh. Bukan saja karena ia selalu menganjurkan untuk berpikir, bukan
pula hanya disebabkan karena ada dari ajaran-ajaran agama yang tidak dapat diyakini
kecuali dengan pemb uktian logika atau bukan pula disebabkan oleh keyakinan seseorang
yang berdasarkan "taqlid" tidak luput dari kekurangan, tapi juga karena Al-Quran
memberi kesempatan kepada siapa saja secara sendirian atau bersama-sama dan kapan
saja, untuk membuktikan kekeliruan Al-Quran dengan menandinginya walaupun hanya
semisal satu surah sekalipun (QS 2:23).
Quraish Shihab :Membumikan Al-Qur’an dalam File : Al-Quran Ilmu dan Filsafat Manusia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment