Friday, September 9, 2011

Awal dari Cinta

Awal dari Cinta
Kafil Yamin
Wartawan free-lace
a
Bung Beni Panjaitan, maaf judul lagu Bung saya pake untuk artikel ini.
SESEORANG akan bersikap baik dan hormat secara tulus kepada sesuatu bila ia mencintai sesuatu itu. Tak ada perilaku dan sikap baik yang timbul dari rasa tidak suka.
Tentu, orang bisa bersikap baik dan hormat tanpa mencintai. Tapi yang demikian itu bukan perilaku sebenarnya. Engkau bisa memberi tanpa cinta, tapi engkau tak bisa mencintai tanpa memberi.
Pribadi-pribadi bersinar dalam sejarah Indonesia pun adalah para pecinta bangsanya. Cinta kepada bangsa lah yang mendorong mereka bersikap sebagai manusia sejati dan berperilaku mulia.
“Tuhan memberiku satu hidup,” kata Soekarno suatu waktu di hadapan staff kedutaan Indonesia di Washington. “Dan hidup yang satu itu, seratus persen, kupersembahkan untuk pembangunan negara dan bangsa.”
“Dan andaikata,” katanya lagi, “Tuhan memberiku dua hidup. Dua-duanya akan kupersembahkan untuk pembangunan negara dan bangsa Indonesia.”
Itulah ungkapan cinta si bung.
Karena itu, tanpa cinta, adalah jauh panggang dari api bila hendak membangun dan mengembangkan perilaku dan akhlak mulia terhadap alam dan lingkungan. Orang harus mencintai lingkungan alam dan masyarakatnya, baru dia bisa menumbuhkan perilaku baik dan hormat terhadapnya.
Jalan pikiran sederhana ini bisa dipakai mengukur: bila sebuah masyarakat atau bangsa bersikap dan berperilaku buruk terhadap alam sekelilingnya, bisa dipastikan mereka tidak mencintai lingkungan alam dan sosialnya itu. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari manusia, sebagai pribadi atau masyarakat, yang hampa cinta? Karena yang akan muncul adalah pikiran dan sikap negatif.
Karena itu, tanpa rasa cinta kepada alam sekeliling, kepada tanah air, kepada sesama bangsa, tak mungkin timbul perilaku baik. Bahkan akhlak Islam pun tak akan tumbuh, meski ajaran Islam difahami dan aspek ubudiyahnya diamalkan tiap hari. Bukankah banyak contoh perkara orang taat beragama tapi memelihara kebencian kepada sesama?
Tapi, bagaimanakah cinta bisa tumbuh? Jawabannya: dengan pengetahuan, ilmu dan pengalaman.
Semua manusia terlahir membawa ‘modal’ cinta. Modal ini tak lebih dari benih. Bila tidak disemai dan dipelihara, ia tak akan tumbuh dan merekah. Banyak dari kita tak punya waktu cukup untuk menyemai, menumbuhkan dan memelihara cinta, yakni dengan ilmu pengetahuan dan penghayatan terhadap tadi, akibatnya cintanya tidak berkembang, bahkan defisit.
Defisit? Ya. Cintanya tetap terbatas: pada lingkungan keluarga; pada kekasih; pada rumah dan mobil; pada uang.
Dan cinta yang defisit, kalau digunakan penuh, biasanya menyebabkan minus cinta pada hal-hal lain. Minus cinta adalah sikap negatif – kebencian atau ketakpedulian. Manusia dengan cinta yang defisit mencintai anak-istrinya, rumahnya, mobilnya, tapi tak peduli terhadap tetangga di sebelahnya; terhadap lingkungan sekelilingnya, sebab cintanya sudah habis hanya untuk keluarga dan kekayaannya.
Para koruptor adalah contoh manusia dengan cinta defisit. Cinta kepada kekayaan dan keluarga menyebabkan tak ada sisa cinta kepada sesama manusia di luar keluarga dan hartanya itu. Kaum politisi mentah adalah juga contoh manusia defisit cinta: cinta kepada partai menyebabkannya benci kepada pihak lain atau pesaing politik mereka.
Kehidupan agama, bila tidak dibarengi pemupukan cinta, bisa menjadi wakil cinta defisit itu. Orang mencintai organisasi dan madzhabnya begitu rupa dan menganggap faham lain sebagai hal yang perlu dimusnahkan dari muka bumi.
Tanpa pengembangan ilmu pengetahuan dalam beragama, agama malah akan jadi sekat-sekat bahkan benih konflik sosial, karena menarik cinta hanya kedalam. Bahkan Tuhan pun hanya miliknya. Padahal, Tuhan lah sumber cinta bagi segala makhluk.
Hanya ada dua kemungkinan bagi agama bila tidak dibarengi dengan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni menjadi sumber perseteruan atau ditinggalkan sama sekali.
Ada faham keagamaan yang menganjurkan mengabaikan, menghina, bahkan membenci dunia. Tentu, yang disebut ‘lingkungan’ adalah alam dunia dan masyarakat sekeliling. Karena itu, faham seperti ini tak mungkin menumbuhkan akhlak yang mulia terhadap lingkungan. Tidak mungkin melahirkan ‘akhlak al-bi’ah’ atau ‘adab al-bi’ah’.
Terlepas dari faham seperti itu, yang disokong dengan hadits-hadits yang susah ditelusuri keabsahannya, al-Qur’an dengan tegas dan jelas mengamanatkan cinta kepada alam. Bahwa makhluk-makhluk lain, binatang melata dan serangga sekalipun, adalah ‘ummah seperti kamu’.
Pesan-pesan seperti ‘janganlah berbuat kerusakan di muka bumi’, ‘lihatlah bagaimana Allah menurunkan hujan dari langit, dan dengan itu menghidupkan bumi setelah matinya’ …seperti tertutupi oleh hadits-hadits, syair atau pepatah kaum pecundang yang tak bisa bersaing dan fastabiqul khairat, dan akhirnya memilih sikap negatif: merendahkan dan membenci dunia.
Cinta tumbuh dengan pengenalan dan pengetahuan. Orang yang pengenalan dan pengetahuannya luas cintanya juga luas. Orang yang tak punya pengetahuan dan pengenalan tentang sesuatu tidak akan mencintai sesuatu itu.
Organisasi-organisasi asing dan komunitas internasional lebih peduli kepada kelestarian alam Indonesia daripada orang Indonesia sendiri karena mereka punya pengetahuan lebih tentangnya. Mereka melakukan penelitian, dokumentasi, uji coba, lebih yang dilakukan orang Indonesia sendiri.
Ini pun bisa dijadikan ukuran bahwa kebanyakan orang Indonesia masih kekurangan pengetahuan tentang lingukan alamnya sendiri sehingga kepedulian dan cintanya tidak tumbuh.
Berapa persenkah dari satu penduduk kampung yang mengetahui nilai dan kegunaan sungai yang mengaliri kampungnya? Dan karena itu, berapa persenkah dari mereka yang mengetahui dampak perbuatan mereka membuang sampah kedalamnya? Berapa persenkah dari orang Indonesia yang mengetahui nilai dan kegunaan pohon-pohon di hulu sungai? Dan dampak dari membabat pohon-pohon di sana?
Tahukah mereka dampak jangka pendek dan panjang dari membuang sampah di jalan? Di kali? Di halaman mesjid?
Cinta pun tumbuh dengan pengalaman. Seseorang mengalami atau merasa menerima manfaat, kebaikan, kesenangan, dari sesuatu sehingga timbul cinta kepada sesuatu itu. Kebaikan, kesenangan, manfaat yang ditimbulkan seseorang kepada kita akan menimbulkan cinta dan hormat kita kepadanya — untuk kemudian menumbuhkan sikap dan perilaku.
Tapi orang hanya akan bersikap balik demikian bila perasaannya sehat. Bila ia merasakan manfaat dan kebaikan yang diterimanya. Kesehatan kallbunya yan menyebabkan ia secara naluriah bertimbal balik baik kepada yang memberinya kebaikan dan manfaat.
Sebab, cukup banyak manusia yang mengalami dan menerima kebaikan dari pihak atau orang lain, tapi tak ‘merasakan’ kebaikannya itu. Sehingga timbal balik yang baik tidak timbul darinya. Cinta dan hormat tidak tumbuh.
Keadaan seperti ini bisa disebabkan dua hal: pertama, kalbu orang yang bersangkutan mati. Tidak sensitif. Kedua: saking biasa dan seringnya kebaikan itu dia terima sehingga dia tak merasakan sebagai kebaikan. Kebanyakan manusia besikap yang kedua ini.
Tidak ada rasa syukur, tidak ada rasa tahu diri, memang bisa terjadi kepada orang yang berlimpah anugrah. Karena sikapnya itu, dia tak merasa berlimpah anugrah, malah merasa menderita, bermasalah, dan karena itu bersikap negatif.
Bangsa Indonesia dianugrahi kenikmatan alam yang begitu rupa: kesuburan tanah, kelimpahan air, hari yang selalu dihadiri sinar matahari, pemandangan yang elok, tapi sikap kebanyakan terhadap semua kenikmatan ini malah negatif: sungai dicemari, lahan-lahan subur dirusak, tempat-tempat dan sarana umum dikotori. Bangsa Indonesia, dengan melihatnya secara umum, adalah bangsa yang tidak bersyukur. Bangsa yang tidak tahu diri.
Ini belum menyebut limpahan kekayaan lain di bawah buminya: cadangan berbagai logam mulia, intan permata, minyak, gas, batubara. Di hutan, tak terhitung keankeragaman hayati hidup dan berkembang. Di laut, populasi ikan lebih dari cukup untuk memberi makan 240 juta orang Indonesia ikan segar saban hari sekalipun!
Lantas apa sikap kebanyakan orang Indonesia terhadap semua kelimpahan itu? Hutan dibabat dan dibagi-bagi ke perusahaan perkebunan atau perusahaan penebang. Cadangan logam mulia diberikan kepada penguras harta karun asing. Laut yang kaya kita biarkan dijarah ratusan kapal asing setiap hari.
Dalam hal pengetahuan , kita kurang. Dalam hal perasaan, kita tumpul. Apaboleh buat, cinta kita pun defisit.
Dan pada masyarakat yang hampa cinta, tak bisa diharapkan akan tumbuh perilaku dan akhlak mulia – terhadap apa pun.
Lantas apa fungsi pendidikan di Indonesia selama ini? Pendidikan di Indonesia belum mengajarkan pengetahuan yang benar tentang kekayaan negerinya. Tidak ada informasi dan bahasan mengenai cadangan emas dan tembaga di Papua, Sumbawa, atau Sulawesi Tenggara dalam buku pelajaran di masing-masing tempat itu. Tidak ada pelajaran tentang cadangan alumunium di Samosir, nikel di Sultra, batubara di Kalimatan, biji besi di Sumbar, di kurikulum sekolah masing-masing tempat itu.
Pendidikan Indonesia pun belum menanamkan perasaan menerima dari alam lingkungan akan berbagai kenikmatan. Dan karena itu belum juga bisa menanamkan rasa terima kasih padanya. Pendidikan kita tidak mengembangkan rasa syukur, tapi lebih banyak menghidupkan ambisi.
Bagaimana mungkin? Orang tak punya rasa terima kasih dan hormat kepada bumi yang tiap hari menghidupinya? Memberinya kegirangan dan kenyamanan?
Para murid dan siswa sangat rajin diajari semangat mengejar dan mencapai cita-cita, tapi nyaris tak pernah diajari semangat dan kerelaan untuk memberi.[]
Kunjungi Kafil Yamin:
http://kafilyamin.wordpress.com/
http://kafilyamin.blogspot.com/
http://gerakpena.com/?page_id=10