Saturday, March 18, 2017

Ibu

Seorang Ibu Meminjam Uang Kepada Anaknyan Yang Mapan, Namun Jawaban Anaknya... - Kali ini Blogsteguh akan Share cerita Inspirasi yang saya dapatkan dari facebook ya UCers. Kasih Ibu tak akan ternilai dengan harta begitulah pepatah yang selalu kita baca selama ini. Memang benar sosok Ibu merupakan sosok yang paling berpengaruh dalam hidup seorang anak beliau rela melakukan hal apapun demi melihat anak yang di lahirkannya hidup lebih bahagia dari pada dirinya. Ketika sang anak sudah menjadi sukses, sosok ibulah yang paling pertama berbahagia dan terkadang meskipun beliau tau kalaua anaknya telah bahagia dan bergelimang harta ia masih ragu untuk meminta belas kasihan dari sang anak seperti kisah di bawah ini.



Seorang ibu ingin meminjam uang kepada anaknya yang telah mapan. Dengan suara rendah disertai rasa malu ibu berkata : " Nak, bolehkah ibu meminjam uang 100 ribu,? Ibu ada perlu buat beli beras.". Anaknya tidak langsung menjawab, dengan raut muka datar ia berkata: " Iya Bu, nanti Aku tanya istriku dulu", seakan berat untuk mengiyakan, karena belum tentu isterinya mengiyakan...Ketika Sang Anak masuk ke dalam rumah ia melihat dus susu anaknya masih ada bandrol harga Rp 50.000, kemudian dia merenung. Jika 1 dus habis 1 hari x 30 hari x 2 th = 36 juta....!!!!. Dia berfikir, waktu balita dia hanya diberikan ASI oleh ibunya, harganya tak terhingga, super steril, diberikan dengan penuh kasih sayang....Jika didapat oleh seorang anak selama 2 tahun berapa yang harus ia bayar?? Kemudian ia berbalik dan menatap wajah ibunya yang teduh walau telah dimakan usia. Dirimu telah memberikan semua kasih sayang, harta dan semuanya kepadaku tanpa pamrih, dan semua itu kuterima dgn GRATIS..Maafkan anakmu ini yang tidak tahu balas budi.. Segera ia memeluk ibunya dan mengecup keningnya dan memberi uang Rp 3 jt, sambil menangis ia berkata: "Ibu, jangan berkata pinjam lagi yaa, hartaku adalah juga milikmu, do'akan anakmu ini agar selalu berbakti padamu". Sambil berkaca-kaca ada air bening di pelupuk mata ibu ia berkata: "Nak, di setiap keadaan ibu selalu berdo'a agar kita semua selalu dikumpulkan di dunia dan di SURGA nanti dalam kebahagian.. Semoga Bermanfaat. Jangan biarkan bacaan bermakna ini mengendap di telepon mu, jadikan ladang pahala dg meberikan ke orang lain..bagi PARA ISTRI ingatlah bahwa rizki dari suamimu adalah juga hak mertuamu. Dan juga perlakukan lah ibu mertua seperti ibu kandung sendiri......
Semoga bermenfa'at bagi kita semua....
Begitulah sosok Ibu ya Ucers, sosok paling berpanguruh dari kehidupan kita.. yang mendidik kita hingga dewasa.. dan yang pasti jika kita telah dewasa dan mampu segalanya janganlah sesekali kita mengecewakan sang ibu. Terima kasih telah membaca ya.
Smber :http://c.uctalks.ucweb.com

Friday, March 17, 2017

AL-MUDHARABAH ( BAGI HASIL ) DALAM ISLAM SEBAGAI SOLUSI

Alhamdulillah. Allah sudah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya permasalahan ekonomi, baik skala mikro (kecil) ataupun skala makro (besar).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl: 89)

Allah subhanahu wa ta’ala juga mengatur seluruh permasalahan yang berhubungan dengan pengembangan usaha bisnis, investasi dan pembagian keuntungan, sehingga umat ini bisa menjalankan usahanya tanpa harus berkecimpung dalam riba dan dosa.

Di antara produk Islam di dalam bidang ekonomi adalah Al-Mudharabah (bagi hasil). Al-Mudharabah ini bisa menjadi salah satu solusi untuk bisnis skala kecil maupun besar, terlebih lagi untuk orang-orang yang:

Punya skill (kemampuan) dan pengalaman tetapi tidak punya modal.
Punya modal yang uangnya ‘menganggur’ di bank tetapi tidak memiliki skill (kemampuan) dan pengalaman dan tetapi juga menginginkan keuntungan.
Orang yang tidak punya kedua hal di atas, tetapi bisa diajak bekerja dan bekerjasama.

Ketiga kekuatan ini apabila digabungkan, insya Allah akan menjadi kekuatan yang besar untuk ‘mendongkrak’ perekonomian Islam.

Di zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal ini sudah biasa dikenal. Di dalam fiqh, bagi hasil disebut Al-Mudharabah atau Al-Muqaradhah. Hal ini diperbolehkan dan disyariatkan. Di antara dalilnya adalah sebuah atsar dari Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu:

عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ أَنَّهُ كَانَ يَدْفَعُ الْمَالَ مُقَارَضَةً إِلَى الرَّجُلِ وَيَشْتَرِطُ عَلَيْهِ أَنْ لاَ يَمُرَّ بِهِ بَطْنَ وَادٍ وَلاَ يَبْتَاعُ بِهِ حَيَوَانًا وَلاَ يَحْمِلَهُ فِى بَحْرٍ فَإِنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَقَدْ ضَمِنَ ذَلِكَ الْمَالَ قَالَ فَإِذَا تَعَدَّى أَمْرَهُ ضَمَّنَهُ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ.

“Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dulu beliau menyerahkan harta untuk diusahakan sampai ajal tertentu. Beliau memberi syarat pada usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering), jangan membeli hewan dan jangan dibawa di atas laut. Apabila pengusahanya melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin harta tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka dia menjamin orang yang mengerjakannya.”[1HR Ad-Daruquthni dalam Sunananya no. 3033 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra VI/111 no. 11944. Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya dalam Al-Irwa’ no. 1472.]

Bagaimana sebenarnya aturan Al-Mudharabah dalam Islam? Apa saja persyaratan yang harus terpenuhi agar Al-Mudharabah tidak terjatuh kepada perbuatan riba dan dosa?

Insya Allah soal-soal tersebut akan dijawab pada artikel ini.

Al-Mudharabah (bagi hasil) memiliki lima unsur penting (rukun), yaitu:

Al-Mudhaarib (pemilik modal/investor) dan Al-‘Amil (pengusaha bisnis)
Shighatul-aqd (yaitu ucapan ijab dan qabul/serah terima dari investor ke pengusaha)
Ra’sul-maal (modal)
Al-‘Amal (pekerjaan)
Ar-Ribh (keuntungan)

Di dalam Al-Mudharabah, Al-Mudhaarib (investor) menyerahkan ra’sul-maal (modal) kepada Al-‘Amil (pengusaha) untuk berusaha, kemudian keuntungan dibagikan kepada investor dan pengusaha dengan prosentase (nisbah) yang dihitung dari keuntungan bersih (ar-ribh).

Pengusaha tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apapun sampai modal investor kembali 100 %. Jika modalnya telah kembali, barulah dibagi keuntungannya sesuai prosentase yang disepakati.

Di dalam Al-Mudharabah kedua belah pihak selain berpotensi untuk untung, maka kedua belah pihak berpotensi untuk rugi. Jika terjadi kerugian, maka investor kehilangan/berkurang modalnya, dan untuk pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.

Apabila terjadi kerugian, maka investor tidak boleh menuntut pengusaha apabila pengusaha telah benar-benar bekerja sesuai kesepakatan dan aturan, jujur dan amanah.

Investor bisa menuntut pengusaha apabila ternyata pengusaha:

Tafrith (menyepelekan bisnisnya dan tidak bekerja semestinya), seperti: bermalas-malasan, menggunakan modal tidak sesuai yang disepakati bersama.
Ta’addi (menggunakan harta di luar kebutuhan usaha), seperti: modal usaha dipakai untuk membangun rumah, untuk menikah dll.

Inilah garis besar permasalahan dalam Al-Mudharabah. Dan selanjutnya akan penulis rinci satu persatu.

A. Investor dan Pengusaha

Investor dan pengusaha adalah orang-orang yang diperbolehkan di dalam syariat untuk menggunakan harta dan bukan orang yang dilarang dalam menggunakan harta, seperti: orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, orang yang dibatasi penggunaan hartanya oleh pengadilan dan lain-lain.

Anak yang belum baligh tetapi sudah mumayyiz boleh menjadi investor atau pengusaha, meskipun ada perselisihan pendapat dalam hal ini.

B. Akad

Akad Al-Mudharabah membutuhkan kejelasan dari kedua belah pihak. Dan kejelasan tersebut tidak diketahui kecuali dengan lafaz atau tulisan. Oleh karena itu, ijab-qabul (serah terima) modal, harus terpenuhi hal-hal berikut:

– Adanya kesepakatan jenis usaha

– Adanya keridhaan dari kedua belah pihak

– Diucapkan atau ditulis dengan lafaz yang jelas dan bisa mewakili keinginan investor maupun pengusaha

Karena akad ini adalah akad kepercayaan, maka sebaiknya akad tersebut tertulis dan disaksikan oleh orang lain. Apalagi di zaman sekarang ini, banyak orang yang melalaikan amanat yang telah dipercayakan kepadanya.

C. Modal

Para ulama mensyaratkan empat syarat agar harta bisa menjadi modal usaha. Keempat syarat tersebut yaitu:

– Harus berupa uang atau barang-barang yang bisa dinilai dengan uang

Para ulama berijma’ bahwa yang dijadikan modal usaha adalah uang. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang kebolehan menggunakan barang-barang yang dinilai dengan uang. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan hal tersebut diperbolehkan. Karena sebagian orang tidak memiliki uang dan sebagian lagi hanya memiliki barang, padahal barang tersebut di dalam usaha juga sangat dibutuhkan sehingga harus mengeluarkan uang untuk mengadakannya.

Sebagai contoh adalah ruko (rumah toko). Ruko di tempat yang strategis sangat prospek untuk membuka lahan usaha. Ruko tersebut dihitung harga sewanya, misalkan, satu tahun sebesar Rp 40 juta, maka secara akad dia berhak memiliki saham senilai Rp 40 juta.

– Harus nyata ada dan bukan hutang

Seorang investor tidak boleh mengatakan, “Saya berinvestasi kepadamu Rp 10 juta tetapi itu hutang saya dan nanti saya bayar.”

– Harus diketahui nilai harta tersebut

Modal yang dikeluarkan harus diketahui nilainya dan tidak boleh mengambang. Misalkan ada seseorang berinvestasi Rp 100 juta, yang lain berinvestasi 1000 sak semen dan yang lain berinvestasi batu bata 100 ribu bata, maka semuanya harus dinominalkan dulu dengan uang. Misalkan 1000 sak semen dihargai dengan Rp 80 juta. Dan 100 ribu bata dengan Rp 70 juta. Sehingga diketahui perbandingan masing-masing modal yang dikeluarkan oleh investor agar bisa dibagi secara adil ketika mendapatkan keuntungan.

– Harus diserahkan kepada pengusaha

Modal dari investor harus diserahkan kepada pengusaha, sehingga modal tersebut bisa diusahakan. Modal tersebut tidak boleh ditahan oleh investor.

D. Jenis Usaha

Tidak ada pembatasan jenis usaha di dalam Al-Mudharabah. Al-Mudharabah bisa terjadi pada perdagangan, eksploitasi hasil bumi, properti, jasa dan lain-lain. Yang paling penting usaha tersebut adalah usaha yang halal menurut syariat Islam.

E. Keuntungan

Para ulama mensyaratkan tiga syarat dalam pembagian keuntungan

– Harus ada pemberitahuan bahwa modal yang dikeluarkan adalah untuk bagi hasil keuntungan, bukan dimaksudkan untuk pinjaman saja.

– Harus diprosentasekan keuntungan untuk investor dan pengusaha

Keuntungan yang diperoleh juga harus jelas, misal untuk investor 40% dan pengusaha 60%, 50% – 50%, 60% – 40%, 5 % – 95% atau 95% – 5%. Hal ini harus ditetapkan dari awal akad.

Tidak diperkenankan membagi keuntungan 0% – 100% atau 100% – 0%.

Besar prosentase keuntungan adalah bebas, tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.

– Keuntungan hanya untuk kedua belah pihak

Tidak boleh mengikut sertakan orang yang tidak terlibat dalam usaha dengan prosentase tertentu. Misal A adalah investor dan B adalah pengusaha. Si B mengatakan, “Istri saya si C harus mendapatkan 10 % dari keuntungan.” Padahal istrinya tidak terlibat sama sekali dalam usaha. Apabila ada orang lain yang dipekerjakan maka diperbolehkan untuk memasukkan bagian orang tersebut dalam prosentase keuntungan.

Kapankah pembagian keuntungan dianggap benar?

Keuntungan didapatkan apabila seluruh modal investor telah kembali 100%. Jika modal investor belum kembali seluruhnya, maka pengusaha tidak berhak mendapatkan apa-apa.

Oleh karena itu, Al-Mudharabah memiliki resiko menanggung kerugian untuk kedua belah pihak. Untuk investor dia kehilangan hartanya dan untuk pengusaha dia tidak mendapatkan apa-apa dari jerih payahnya.

Sebagai contoh, di akhir pembagian hasil, pengusaha hanya bisa menghasilkan 80% modal, maka 80% tersebut harus diserahkan seluruhnya kepada investor dan pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.

Apakah boleh pengusaha mengambil jatah perbulan dari usahanya?

Apabila hal tersebut masuk ke dalam perhitungan biaya operasional untuk usaha, maka hal tersebut tidak mengapa, contoh: uang makan siang ketika bekerja, uang transportasi usaha, uang pulsa telepon untuk komunikasi usaha, maka hal tersebut tidak mengapa.

Tetapi jika dia mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, maka hal tersebut tidak diperbolehkan.

Sebelum modal kembali dan belum mendapatkan keuntungan maka usaha tersebut beresiko rugi. Oleh karena itu, tidak diperkenankan pengusaha mengambil keuntungan di awal, karena pengusaha dan investor tidak mengetahui apakah usahanya nanti akan untung ataukah rugi.

Bagaimana solusinya agar pengusaha yang tidak memiliki pekerjaan sampingan selain usaha tersebut bisa mendapatkan uang bulanan untuk hidupnya?

Apabila pengusaha berhutang kepada simpanan usaha tersebut sebesar Rp 3 juta/bulan, misalkan, dan hal tersebut disetujui oleh investor, maka hal tersebut diperkenankan.

Hutang tersebut harus dibayar. Hutang tersebut bisa dibayar dari hasil keuntungan nantinya.

Apabila pengusaha berhutang Rp 10 juta, misalkan, dan ternyata pembagian keuntungannya dia mendapatkan Rp 15 juta, maka Rp 15 juta langsung dipergunakan untuk membayar hutangnya Rp 10 juta. Dan pengusaha berhak mendapatkan Rp 5 juta sisanya.

Akan tetapi, jika tenyata pembagian keuntungannya hanya Rp 8 juta, berarti hutang pengusaha belum terbayar seluruhnya. Pengusaha masih berhutang Rp 2 juta kepada investor.

Dan yang perlu diperhatikan dan ditekankan pada tulisan ini, dalam Al-Mudharabah, keuntungan didapatkan dari prosentase keuntungan bersih dan bukan dari modal.

Adapun yang diterapkan di lembaga-lembaga keuangan atau perusahan-perusahaan yang menerbitkan saham, keuntungan usaha didapatkan dari modal yang dikeluarkan, dan modal yang diinvestasikan bisa dipastikan keamanannya dan tidak ada resiko kerugian, maka jelas sekali ini adalah riba.

Setelah membaca paparan di atas, tentu kita akan mengetahui hikmah yang sangat besar di dalam syariat kita. Bagaimana syariat kita mengatur agar jangan sampai terjadi kezaliman antara pengusaha dengan investor, jangan sampai terjadi riba dan jangan sampai perekonomian Islam melemah sehingga tergantung dengan orang-orang kafir.

Coba kita bayangkan jika seluruh usaha baik kecil maupun besar menerapkan sistem bagi hasil ini, maka ini akan menjadi solusi yang sangat hebat agar terhindar dari berbagai macam riba yang sudah membudaya di masyarakat kita.

Ini juga menjadi solusi bagi orang-orang yang tidak memiliki modal sehingga bisa memiliki usaha mandiri dan ini juga menjadi solusi untuk orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan, sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat.

Sungguh indah syariat Islam, karena dia berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Demikian. Mudahan bermanfaat.

Maraji’:

Al-Mudharabah fi Asy-Syari’ati Al-Islamiyah. Abdullah bin Hamd bin ‘Utsman Al-Khuwaithir. Kunuz Isybilia.
As-Sunan Al-Kubra. Abu Bakr Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi. Majlis Dairatil-Ma’arif.
Sunan Ad-Daruquthni. Abul-Hasan ‘Ali bin ‘Umar Ad-Daruquthni.
Syarhul-Mumti’. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Dan lain-lain.



Read more http://pengusahamuslim.com/3833-al-mudharabah-bagi-hasil-sebagai-solusi-perekonomian-islam.html

BAGI HASIL DALAM FIQH ISLAM



A. Pengertian Muzâra’ah dan Mukhabarah.

Al-muzâra’ah secara bahasa berasal dari Bahasa Arab dari kata dasar az-zar’u. Kata az-zar’u sendiri memiliki dua makna, makna yang pertama ialah tharh az-zur’ah yang artinya melemparkan benih (dalam istilah lain dari az-zur’ah ialah al-budzr), yakni melemparkan benih ke tanah. Dan makna yang kedua dari az-zar’u ialah al-inbaat yang memiliki arti “menumbuhkan tanaman”. Makna yang pertama adalah makna yang sebenarnya (ma’na haqiqiy), dan makna yang kedua adalah makna konotasi (ma’na majaziy).Oleh karenanya Rasulullah SAW dalam sebuah hadis bersabda:

لا يقول أحدكم زرعت وليقل حرثت

“Janganlah seseorang diantara kalian mengatakan zara’tu, melainkan katakanlah harats-tu”.

Kedua kata ini memiliki arti keseharian yang mirip, namum kata haratsa lebih cenderung mendekati makna bercocok tanam. Maksud dari hadits ini adalah jangan menggunakan kata zara’a jika yang dimaksudkan adalah makna denotasi yang artinya menumbuhkan, karena hanya Allah-lah yang dapat menumbuhkan.[1] Oleh karena itu Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Waqi’ah ayat 63-64:

أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ (٦٣)أَأَنْتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ (٦٤(

“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam, kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya?”

Adapun secara terminologi para ulama mazhab berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Prof. Dr. Wahbah Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu menuliskan bahwa ulama Mâlikiyyah mendefinisikannya dengan kerjasama dalam bercocok tanam. Ulama Hanâbilah mendefinisikannya dengan pemindahan pengelolaan tanah kepada orang yang akan menanaminya atau mengerjakannya, adapun hasilnya akan dibagi kedua pihak. Muzâra’ah disebut juga mukhâbarah atau muhâqalah. Orang-orang Iraq menyebutnya dengan qarâh. Ulama Syafiiyyah membedakan makna istilah muzâra’ah dan mukhâbarah. Mukhâbarah didefinisikan dengan pengerjaan lahan dari pemilik lahan kepada si penggarap dengan pembagian hasil panennya, sedangkan benih berasal dari si penggarap. Adapun Muzâra’ah adalah mukhâbarah itu sendiri akan tetapi benihnya berasal dari pemilik tanah.[2]

Sedangkan Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah memaparkan perbedaan pengertian muzâra’ah di kalangan para ulama mazhab adalah sebagai berikut: “Menurut Hanafiah muzâra’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi. Menurut Hanabilah muzâra’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit. Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzâra’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa muzâra’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.”

Adapun, ,menurut Sulaiman Rasyid penulis kitab Fiqih Islam, muzâra’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Sementara mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakannya.

Jadi, dari beberapa definisi di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa muzâra’ah menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzâra’ah adalah akad kerjasama dalam pengolahan tanah pertanian atau perkebunan antara pemilik tanah dan penggarap dengan pembagian hasil sesuai kesepakatan kedua pihak.

B. Landasan Hukum dan Pendapat Ulama dalam Muzâra’ah

Muzâra’ah atau yang dikenal di masyarakat sebagai bagi hasil dalam pengolahan pertanian, adalah perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dan dilakukan para sahabat beliau sesudah itu.

Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan melalui Imam Bukhari, Muhammad al Baqir bin Ali bin Al-Husain ra. Berkata: “Tidak ada seorang muhajirin pun yang ada di Madinah kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan sepertiga atau seperempat. Dan Ali, Said bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul ‘Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirrin, semua terjun ke dunia pertanian.”. Di dalam kitab Al-Mughni dikatakan : “Hal ini masyhur, Rasulullah SAW mengerjakan sampai beliau kembali kerahmatullah, kemudian dilakukan pula oleh para khalifahnya sampai mereka meninggal dunia, kemudian keluarga mereka sesudah mereka.”

Sampai-sampai ketika itu di Madinah tak ada seorang pun penghuni rumah yang tidak melakukan ini, termasuk istri-istri Nabi SAW yang terjun setelah beliau melakukan muzâra’ah ini. [3]

Sehingga sebagian besar ulama memperbolehkan muzâra’ah ini. Namun banyak juga ulama ada yang mengharamkannya, ada yang membagi antara muzâra’ah yang haram dan yang halal dengan syarat-syarat tertentu. Berikut ini penulis akan memaparkan perbedaan pendapat ulama beserta dalil-dalilnya. Secara umum adalah sebagai berikut:

1. Pendapat Yang Memperbolehkan Muzâra’ah

Pendapat Jumhur ulama diantaranya Imam Malik, para ulama Syafiiyyah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan (dua murid Imam Abu Hanifah), Imam Hanbali dan Dawud Ad-Dzâhiry. Mereka menyatakan bahwa akad muzâra’ah diperbolehkan dalam Islam[4]. Pendapat mereka didasarkan pada al-Quran, sunnah, Ijma’ dan dalil ‘aqli.

Dalil al-Quran

Surah al-Muzammil: 20

وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ

Artinya : “…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…”

Surat al-Zukhruf : 32

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Kedua ayat diatas menerangkan kepada kita bahwa Allah memberikan keluasan dan kebebasan kepada umat-Nya untuk bisa mencari rahmat-Nya dan karunia-Nya untuk bisa tetap bertahan hidup di muka bumi.

Hadits

Rasulullah SAW bersabda:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ

Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari)

عَنِ ابِن عُمَرُرَضِىَ اللهُ عَنهُ (أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللُه عَلَيهِ وَ سَلَّمَ عَامَلَ أَهلَ خَيبَرَ بشَطرٍ ماَيَخرُجُ مِنهَا مِن ثَمَرٍ أَو زَرعٍ) أَخرَجَهُ البُخَارِي

Artinya :” Diriwayatkan oleh Ibnu Umar R.A. sesungguhnya Rasulullah Saw. Melakukan bisnis atau perdagangan dengan penduduk Khaibar untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil berupa buah-buahan atau tanaman” (HR. Bukhari).



Ijma’

Banyak sekali riwayat yang menerangkan bahwa para sahabat telah melakukan praktek muzâra’ah dan tidak ada dari mereka yang mengingkari kebolehannya. Tidak adanya pengingkaran terhadap diperbolehkannya muzâra’ah dan praktek yang mereka lakukan dianggap sebagai ijma’.[5]

Dalil ‘Aqli

Muzâra’ah merupakan suatu bentuk akad kerjasama yang mensinergikan antara harta dan pekerjaan, maka hal ini diperbolehkan sebagaimana diperbolehkannya mudarabah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sering kali kita temukan seseorang memiliki harta (lahan) tapi tidak memiliki keterampilan khusus dalam bercocok tanam ataupun sebaliknya. Di sini Islam memberikan solusi terbaik untuk kedua pihak agar bisa bersinergi dan bekerjasama sehingga keuntungannya pun bisa dirasakan oleh kedua pihak. Simbiosis mutualisme antara pemilik tanah dan penggarap ini akan menjadikan produktivitas di bidang pertanian dan perkebunan semakin meningkat.

2. Pendapat Yang Melarang Muzâra’ah

Abu Hanifah, Zafar dan Imam Syafii berpendapat bahwa muzâra’ah tidak diperbolehkan. Abu Hanifah dan Zafar mengatakan bahwa muzâra’ah itu fâsidah (rusak) atau dengan kata lain muzâra’ah dengan pembagian 1/3, 1/4 atau semisalnya tidaklah dibenarkan.

Imam Syafi’i sendiri juga melarang prakterk muzâra’ah, tetapi ia diperbolehkan ketika didahului oleh musâqâh apabila memang dibutuhkan dengan syarat penggarap adalah orang yang sama. Pendapat yang Ashah menurut ulama Syafiiyyah juga mensyaratkan adanya kesinambungan kedua pihak dalam kedua akad (musâqâh dan Muzâra’ah) yang mereka langsungkan tanpa adanya jeda waktu. Akad muzâra’ah sendiri tidak diperbolehkan mendahului akad musâqâh karena akad muzâra’ah adalah tabi’, sebagaimana kaidah mengatakan bahwa tabi’ tidak boleh mandahului mathbu’nya. Adapun melangsungkan akad mukhâbarah setelah musâqâh tidak diperbolehkan menurut ulama Syafiiyyah karena tidak adanya dalil yang memperbolehkannya.

Para ulama yang melarang akad muzâra’ah menggunakan dalil dari hadis dan dalil aqli.

Hadist

عَنْ ثَابِت ابْنَ ضَحَّاكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُزَاَرعَةِ

( أخرجه مسلم)

“Dari Tsabit ibnu Dhahhak bahwasanya Rasulullah Saw. melarang muza’rah “ (H.R. Muslim)



أَنَّ رَافِع ابنُ خَدِيج قَالَ: كُنّاَ نُخَابِرُ عَلَى عَهدِ رَسُولُ اللهِ, فَذَكَرَ أَنَّبَعضَ عُمُومَتُهُ أَتاَهُ وَ قاَلَ: نَهَى رَسُولُ الله عَن أَمرٍ كاَنَ لَناَ ناَفِعاً, وَ طَوَاعِيَةُ اللهِ وَ رَسُولِهِ أَنفَعُ لَناَ وَ أَنفَع قاَلَ: قُلناَ: وَ ماَ ذَالِكَ؟ قاَلَ: قاَلَ رَسُولُ لُلهِ ” مَن كاَنَت لَه أَرضٌ فَليَزرَعهاَ أَو فَليُزرِعهاَ أَخاَهُ, وَلاَ يُكاَرِيهاَ بِثُلُثٍ وَلَا بِرُبُعٍ وَلَا بِطَعاَمٍ مُسَمَّى” أَخرَجَهُ مُسلِم وَ أَبُو دَاوُد

“Diriwayatkan oleh Râfi’ bin Khudaij R.A., ia berkata : Suatu ketika ketika kami sedang mengadakan pengolahan lahan dengan bagi hasil tertentu (mukhâbarah), kemudian datanglah kepadanya sebagian dari keluarga pamannya dan mengatakan : Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang akan sesuatu perkara yang sebenarnya bermanfaat bagi kami, dan sungguh ketaatan atas Allah Swt. Dan Rasul-Nya adalah lebih bermanfaat bagi kami. Lalu kami mengatakan: dan apakah perkara itu? Ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda : Barang siapa yang memiliki lahan hendaklah ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya untuk ditanami. Dan janganlah ia menyewakan sepertiganya, atau seperempatnya, dna tidak juga dengan makanan.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud)



عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِحَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ

Dari jalan Rafi’ bin Khadij, ia berkata: “Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzâra’ah , kami menyewakan tanah, satu bagian daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang. (H.R. Bukhari).

عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ عن رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ قَالَ: حَدَثَنِّيْ عَمَّايَ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْرُوْنَ الأَرْضَ عَلَى عَهْدِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمَا يَنْبُتُ عَلَى الأَرْبِعَاءِ أَوْ شَيْءٍ يَسْتَثْنِيْهِ صَاحِبُ الأَرْضِ, فَنَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ. فَقُلْتُ لِرَافِعٍ: فَكَيْفَ هِيَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ؟ فَقَالَ رَافِعٌ: لَيْسَ بِهَا بَأْسَ بِالدِّيْنَرِ وَ الدِّرْهَمِ.

“Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallohu ,’alaihi wa sallam melarang hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.(HR Bukhari).

عن كثير بن فرقد عن نافع أن عبد الله بن عمر كان يكري المزارع فحدث أن رافع بن خديج يأثر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : أنه نهى عن ذلك قال نافع فخرج إليه على البلاط وأنا معه فسأله فقال نعم نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن كراء المزارع فترك عبد الله كراءها

“Dari Katsir Ibnu Farqad dari Nafi’ berkisah, bahwasanya Abdullah Ibnu Umar dulu biasa menyewakan tanah, kemudian ia mendengar Rafi’ ibnu Khadij meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw telah melarang hal itu. Maka ia datang kepada Rafi’ bersamaku dan bertanya mengenai hal tersebut. Jawab Rafi’: “Benar, Rasulullah saw telah melarang seseorang menyewakan sawah”. Sejak itu Abdullah tidak lagi mau menyewakannya.”(Hadits Riwayat: An-Nasa’i)

Dalil Aqli

Muzâra’ah dilarang karena upah penggarapan lahannya ma’dum (tidak ada wujudnya ketika proses akad berlangsung) dan majhul karena tidak adanya kepastian hasil yang akan dituai nanti, boleh jadi lahan yang digarap tidak menghasilkan sama sekali pada akhirnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa jahâlah dan ketiadaan mahallul ‘aqdi akan merusak akad ijarah[6]

Adapun muamalah Nabi Saw. terhadap penduduk Khaibar bukan termasuk akad Muzâra’ah akan tetapi termasuk Kharaj Muqâsamah[7]



Sanggahan Terhadap Pelarangan Muzâra’ah

Pendapat yang melarang muzâra’ah ini dibantah oleh para ulama sebagai berikut:

Hadis yang dijadikan dalil untuk melarang akad muzâra’ah tidak bisa digunakan untuk menjeneralisir pelarangan akad muzâra’ah. Hadis tersebut menkhususkan pada suatu kondisi ketika pemilik tanah mengapling bagian lahan tertentu untuk ditanami sendiri segingga bisa jadi akan menimbulkan kerugian di pihak penggarap pada saat panen nanti. Ada kemungkinan tanah bagian sang penggarap tidak menghasilkan sama sekali. Kalau demikian, dari mana si penggarap akan mendapatkan bagian dari hasil garapannya.
Akad muzâra’ah bukanlah bagian dari akad Ijarah, akan tetapi bagian dari mudarabah. Dalam akad mudarabah, kesepakatan persentase pembagian hasil boleh ditentukan diawal dan hal ini tidaklah merusak akad tersebut. Hal yang sama bisa kita lihat juga dalam muzâra’ah. Ada karakteristik khusus yang dimiliki oleh muzâra’ah dibandingkan penyewaan tanah biasa. Dalam muzâra’ah ‘upah’ yang didapat adalah persentase sebenarnya dari hasil panen yang didapat dari tanah garapan baik itu seperempat, setengah atau sepertiganya. Sedangkan dalam penyewaan tanah biasa, upah yang didapat oleh pemilik tanah adalah jumlah tertentu baik berupa uang atau barang (hasil bumi) yang bukan merupakan hasil dari tanah garapan, ataupun mungkin hasil dari tanah garapan akan tetapi jumlahnya sudah ditentukan terlebih dahulu tanpa dasar presentase dari awal, satu ton gandum misalnya atau 100 kg beras dan sebagainya.
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah juga menyebutkan sanggahan terhadap pelarangan muzâra’ah yang dilandaskan pada hadist Rafi’ bin Khudaij. Hadits tersebut telah disanggah keumuman penerapan larangannya oleh Zaid bin Tsabit ra bahwa pelarangan itu untuk menyelesaikan/melerai perselisihan, ia berkata: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ bin Khudaij. Demi Allah, aku ini lebih tahu tentang hadits daripadanya.” Pelarangan itu sebenarnya turun karena dua orang mendatangi Nabi SAW, mereka dari golongan Anshar yang nyaris saling membunuh karena perselisihan bagi hasil tanam, Rasulullah SAW mengatakan kepada mereka:

ان كــــــان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع

“Jika ini keadaan kalian, maka janganlah kalian ulangi lagi (bekerja sama) dalam bertani.”

Rafi’ hanya mendengar:

فلا تكروا المزارع

“Maka janganlah kalian ulangi lagi bertani bagi hasil.”

(Riwayat Abu Daud dan An-Nasa’i)

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Urwah ibnu Zubair sebagai berikut:

عن عروة بن الزبير قال قال زيد بن ثابت : يغفر الله لرافع بن خديج أنا والله أعلم بالحديث منه إنما كانا رجلين اقتتلا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن كان هذا شأنكم فلا تكروا المزارع فسمع قوله لا تكروا المزارع

Dari Urwah ibnu Zubair berkata, berkata Zaid bin Tsabit: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ ibnu Khadij. Demi Allah, Aku lebih mengetahui hadits daripada ia. Rasulullah saw melarang menyewakan tanah, dikarenakan pada suatu hari ada dua orang yang bunuh membunuh sebab masalah penyewaan tanah, maka dari itu beliau bersabda: “Jika kamu bertengkar seperti ini, janganlah kamu menyewakan tanah” Rupanya ia hanya mendengar sabda beliau: “Janganlah kamu menyewakan tanah”.” (H.R. An Nasa’i)

Jadi munculnya hadis tentang muzâra’ah dari Rafi’ bin Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melarang dilakukannya muzâra’ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, itu memang benar. Namun hal itu tidak bisa dijadikan hujah larangan menyewakan tanah (muzâra’ah ) karena hadits tersebut yang diriwayatkan Rafi’ ibnu Khadij tidak semata-mata dilihat dari apa yang disampaikan rasulullah saw saja, namun kita lihat dari latar belakng sehingga dikeluarkan hadits tersebut, dengan kata lain harus dilihat secara kontektual atau dilihat dari asbabul wurudnya dulu.

Dengan adanya bantahan dari Zaid ibnu Tsabit ini, maka telah jelas bahwa tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya muzâra’ah .

Ibnu Abbas pun menyanggah Rafi’ bin Khudaij, beliau menjelaskan: “Sesunggunhnya pelarangan adalah dalam rangka membawa mereka kea rah yang lebih baik untuk mereka, beliau berkata:

“Sesunggunnya Rasulullah SAW bukan mengharamkan bertani bagi hasil, tetapi beliau memerintahkan agar sesame manusia saling tolong-menolong” dengan sabda beliau SAW : “Siapa yang memiliki tanah hendaknya ia menanaminya atau ia berikan (penggarapannya) kepada saudaranya. Jika ia enggan, maka ia sendiri harus menggarap tanahnya.”

Dan dari Amir bin Dinar ra.: “Aku pernah mendengar Ibnu Umar berkata: Dahulu kami tidak memandang muzâra’ah itu terlarang, sampai aku mendengar Rafi’ bin Khudaij berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW mencegahnya.” Kemudian aku ceritakan kepada Thawwus, lalu ia berkata,”Orang yang paling pandai diantara mereka mengatakan kepadaku – yang dimaksud adalah Ibnu Abbas – “Bahwa Rasulullah SAW tidak pernah mencegahnya, tetapi beliau berseru: “ Hendaknya seseorang kamu memberikan tanahnya (untuk digarap), itu lebih baik daripada ia memungut bayaran tertentu.” (Diriwayatkan oleh kelima Imam hadist).

Adapun bentuk muzâra’ah yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 400 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada 600 m tertentu.

Perbedaannya dengan bentuk muzâra’ah yang halal di atas adalah pada cara pembagian hasil, yaitu:

Dimana bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase.

Dimana bentuk yang terlarang itu adalah sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan. Cara seperti ini adalah cara muzâra’ah yang diharamkan. Dari Hanzhalah ra., ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (galangan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim III: 1183 no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII : 43).

Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.

Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.

Imam Ibnul Qayyim berkata: ”Muzâra’ah ini lebih jauh dari kezaliman dan kerugian dari pada ijarah. Karena dalam ijarah, salah satu pihak sudah pasti mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam muzâra’ah , apabila tanaman tersebut membuahkan hasil, maka keduanya mendapatkan untung, apabila tidak menghasilkan buah maka mereka menanggung kerugian bersama.”

Syekh Abdurrahman Al-Jazairy menutup perbedaan panjang para ulama mazhab mengenai muzâra’ah ini dengan sebuah kesimpulan yang indah: “Jika demikian, maka kita bisa menerapkan dua pendapat yang berbeda itu sesuai porsinya di zaman ini..”, ringkasnya adalah sebagai berikut:

Diantara manusia ada pemilik lahan yang memanfaatkan kesempatan dengan adanya kebutuhan yang sangat dari para pekerja untuk memperoleh pekerjaan, manusia jenis ini tidak akan memberikan kesempatan hingga pekerja tersebut benar-benar terpaksa melakukan apa yang diinginkan si pemilik lahan tersebut, sehingga si pemilik lahan mendapatkan keuntungan yang maksimal dari hasil lahannya, dan berlaku tidak adil dalam pembagian hasilnya. Pada keadaan yang demikian, maka muzâra’ah diharamkan. Dalam hal ini kita mengambil pendapat Malikiyah yang mensyaratkan persamaan dalam keuntungan berdasarkan nisbah (prosentase) pengorbanan kedua belah pihak, baik itu pengorbanan berupa pekerjaan, lahan, atau yang lainnya, sehingga masing-masing dari kedua belah pihak tidak berlaku tamak.
Jika muamalah yang terjadi di kalangan manusia adalah hubungan yang baik, di mana masing-masing pihak tidak ingin merebut bagian yang merupakan hak partnernya, tidak berkhianat dalam bekerja, dan kemaslahatan juga tercipta dengan penerapan muzâra’ah dengan membagi hasil dari apa yang dihasilkan oleh pengolahan tanam tersebut (ghullah), maka pada kondisi demikian kita mengambil pendapat yang membolehkan muzâra’ah tanpa perlu diikat dengan syarat-syarat yang dipersyaratkan oleh pihak yang mengharamkannya.[8]. Inilah pendapat yang paling tepat menurut penulis.
C. Rukun Muzâra’ah .

Menurut Jumhur ulama, rukun muzâra’ah ada tiga, yaitu :

‘Akidain ( pemilik tanah dan penggarap)
Mahallul aqdi atau ma’qud ‘alaih yaitu objek. Ada perbedaaan pendapat dalam masalah objek ini, ada yang berpendapat bahwa objek muzâra’ah adalah manfaat tanah (lahan) ada pula yang berpendapat bahwa objek yang dimaksud adalah pekerjaan si penggarap lahan. Para ulama Hanafiyyah yang mengkiaskan muzâra’ah dengan ijarah pada awalnya dan syirkah pada akhirnya berpendapat apabila benih berasal dari penggarap maka objeknya adalah manfaat tanah yang digarap, akan tetapi jika benih berasal dari pemilik tanah maka objeknya adalah pekerjaan si penggarap tanah.[9]
Ijab dan kabul, yaitu kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap.[10]

Sedangkan menurut Hanafiyyah, rukun muzâra’ah hanyalah ijab dan kabul saja. Ini hanyalah perbedaan pendapat ulama, akan tetapi pada prakteknya semua komponen harus terpenuhi baik ‘âkidân, mahallul ‘aqdi maupun ijab dan qabul. Karena tanpa tiga unsur ini muzâra’ah tak akan bisa terlaksana.

D. Syarat Muzâra’ah

Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan mengklasifikasikan syarat-syarat Muzâra’ah sebagai berikut[11] :

1. Syarat-syarat ‘âkidân (pemilik tanah dan penggarap)

Ø ‘âkidân harus berakal (mumayyiz). Maka tidak sah akad muzâra’ah yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil yang belum mumayyiz, karena akal merupakan syarat ahliyyah dalam penggunaan harta. Adapun al-bulugh menurut tidak termsuk syarat bagi Hanafiyyah, sedangkan Syafiiyyah dan Hanâbilah mensyaratkannya.
Ø Tidak murtad. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, sedangkan kedua muridnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan tidak mensyaratkannya. Menurut Imam Abu Hanifah, tasharruf orang yang murtad dianggap mauquf, oleh karena itu tasharrufnya dianggapa tidak sah. Sedangkan kedua muridnya yang tidak mensyaratkan hal ini menganggap tasharruf orang yang murtad tetap sah.

2. Syarat-syarat Tanaman

Ø Diketahui jenis dan sifat tanamannya. Penggarap hendaknya menjelaskan dengan detail jenis dan sifat tanaman yang akan ditanamnya kepada pemilik tanah. Hal ini menjadi penting karena jenis tanaman akan berpengaruh kepada kualitas tanah yang ditanaminya.
Ø Tanaman yang ditanam adalah tanaman yang menghasilkan atau dapat diambil manfaatnya dengan jelas, sehingga tidak sia-sia nantinya.
Ø Tanaman yang akan ditanam memang bisa tumbuh di lahan yang tersedia.

3. Syarat tanah (lahan)

Ø Hendaknya kedua belah pihak memastikan bahwa tanah yang akan digarap benar-benar tanah yang bisa ditanami.[12] Bukan rawa-rawa ataupun tanah tandus yang memang tidak mungkin dimanfaatkan untuk bercocok tanam.
Ø kejelasan letak dan batas tanah yang akan digarap
Ø Pembebasan lahan dari pemilik tanah kepada penggarap. Ini berarti bahwa pemilik tanah mengamanahkan sepenuhnya pengurusan tanah dan tanamannya kepada penggarap agar lebih leluasa dalam bekerja.

4. Syarat-Syarat Hasil yang Akan Dipanen dan Dibagi

Syarat-syarat berikut ini harus dipenuhi ketika tidak terjadi pembatalan akad :

Ø Hasil yang akan dibagi nanti harus dijelaskan sejak awal akad. Kedudukan hasil di sini setara dengan kedudukan upah dalam suatu pekerjaan, oleh karena itu jika terjadi jahâlah dalam upah maka rusaklah suatu akad.
Ø Hasil yang akan dipanen nanti harus dibagikan kepada kedua pihak sesuai kesepakatan. Apabila ada salah satu pihak mensyaratkan hasilnya hanya untuk salah satu dari mereka maka rusaklah akad muzâra’ah.
Ø Adanya penentuan persentase pembagian yang jelas dari awal akad, ½,1/3atau1/4 misalnya. Hal ini harus jelas sejak awal agar tidak terjadi perdebatan dan percekcokan antara pihak satu dengan lainnya.
Ø Yang dibagikan kepada kedua pihak benar-benar hasil dari kerjasama keduanya.
Ø Mâlikiyyah mensyaratkan pembagian hasil yang sama rata antara pemilik tanah dan penggarap. Sedangkan Syafiiyyah, Hanâbilah dan Hanafiyyah tidak mensyaratkannya. Mereka memperbolehkan perbedaan pembagian hasil antara kedua belah pihak sesuai kesepakatan.

5. Syarat-syarat Mahallul aqdi (objek)

Objek muzâra’ah hendaknya sejalan dengan yang digariskan oleh Syara’ ataupun ‘urf. Jika kita kiaskan akad muzâra’ah ke akad sewa menyewa (ijârah) maka kita akan menemukan pembagian jenis objek sewa menjadi dua:

Ø Manfaat pekerjaan dari si penggarap tanah. Ini terjadi apabila benih berasal dari pemilik tanah.
Ø Manfaat dari lahan itu sendiri. Ini terjadi apabila benih berasal dari penggarap tanah.
Ø Jika kedua objek ini berkumpul dalam akad muzâra’ah maka akad tersebut fasid.

6. Syarat Alat Pertanian

Alat pertanian bisa berupa hewan seperti sapi atau kerbau pembajak ataupaun alat-alat modern seperti traktor. Alat-alat ini tidak wajib disebutkan dalam akad karena hanya merupakan pelengkap bukan inti dari pekerjaan yang akan dilakukan.

7. Syarat waktu atau masa berlangsungnya akad muzâra’ah

Masa berlangsungnya akad harus jelas sejak awal akad. Tidak sah akad muzâra’ah kecuali masa berlangsungnya akad ini disepakati. Karena muzâra’ah merupakan akad yang bertujuan untuk membuahkan hasil. Jika kita qiyaskan lagi dengan ijarah, maka jelas bahwa ijarah tidak sah ketika masa berlangsungnya akad tidak jelas.

E. Syarat-syarat yang Bisa Merusak Akad Muzâra’ah

Berikut ini adalah syarat-syarat yang bisa merusak akad muzâra’ah :

Pensyaratan agar semua hasil garapan diperuntukkan kepada salah satu pihak saja.
Syarat yang menimbulkan ketidakpastian pembagian hasil antara dua pihak. Apabila salah satu pihak mensyaratkan persentase tertentu bagi dirinya atas hasil yang akan didapatnya atau mengkhususkan bagian tertentu untuk dirinya tanpa bagian yang lain.[13]
Apabila ada pensyaratan keikutsertaan pemilik tanah dalam mengelola lahan atau bahkan pemilik tanah sendiri yang harus mengelola lahannya. Ini menurut pendapat Hanafiyyah dan Hanâbilah.
Syarat kepada pemilik lahan untuk menjaga dan merawat lahannya sebelum masa akad berakhir.
Syarat kepada penggarap untuk menjaga dan merawat lahan setelah masa akad berakhir dan hasil telah dibagikan.
Masa akad yang majhûl dan tidak relevan. Misalnya menunggu sampai tanaman yang ditanam mati secara alami.



F. Sifat Akad Muzâra’ah Berdasarkan Lazim dan Tidaknya Akad[14]

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang lazim dan tidaknya akad Muzâra’ah.[15]

Imam Hanafi bependapat bahwa Muzâra’ah merupakan akad tidak lazim bagi pemilik benih dan akad lazim bagi yang tidak memiliki benih.
Para Ulama Mâlikiyyah berpendapat bahwa muzâra’ah termasuk akad lazim ketika benih telah ditaburkan bagi tanaman yang berkembang biak dengan biji benih atau ketika batangnya sudah ditanam bagi tanaman yang berkembang biak dengan batangnya. Jadi sebelum benih ditaburkan atau batang ditanam, akad ini belum mencapai derajat lazim.
Para ulama Hanâbilah mengatakan baik akad muzâra’ah maupun musâqâh keduanya merupakan akad ghairu lazim. Masing-masing pihak boleh membatalkan akad kapan saja. Akad dianggap batal ketika salah satu pihak meninggal dunia.
G. Macam-macam Bentuk Akad Muzâra’ah

Ada empat bentuk muzâra’ah menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, dua murid Imam Abu Hanifah, tiga diantaranya termasuk akad shahih dan satu lainnya akad bathil.

Apabila tanah dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dan hewan (peralatan) dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini diperbolehkan. Di sini pemilik tanah dan benih seakan-akan bertindak sebagai penyewa kepada si penggarap. Adapun hewan (peralatan) adalah bagian yang tak terpisahkan dari pihak penggarap. Karena hewan (peralatan) adalah wasilah untuk bekerja.
Apabila tanah dari pihak pertama sedangkan hewan (peralatan), benih dan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini juga diperbolehkan. Di sini penggarap tanah seakan-akan menjadi penyewa tanah dengan keuntungan pembagian hasil yang akan dipanen nanti.
Apabila tanah, hewan (peralatan) dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini juga diperbolehkan. Di sini pemilik tanah seakan-akan bertindak sebagai penyewa pekerjaan si penggarap dengan pembagian hasil yang disepakati kedua pihak.
Apabila tanah dan hewan (peralatan) dari pihak pertama sedangkan benih dan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini tidak diperbolehkan. Ini termasuk akad yang fasid. Apabila kita kiaskan akad muzâra’ah dengan akad sewa tanah, maka pensyaratan adanya hewan (peralatan) kepada pemilik tanah dapat merusak akad sewa (ijârah). Karena tidak mungkin untuk menjadikan hewan (peralatan) bagian dari tanah sebab adanya perbedaan manfaat antara keduanya. Dengan kata lain bahwa manfaat hewan (peralatan) bukan termasuk jenis manfaat yang ada dalam pemanfaatan tanah itu sendiri. Tanah berfungsi sebagai lahan untuk bercocok tanam sedangkan hewan (peralatan) berfungsi untuk bekerja dan mengolah tanah.

Adapun jika akad ini diqiyaskan ke akad sewa pekerja, maka pensyaratan adanya benih juga merusak akad sewa, karena benih bukan termasuk bagian dari manfaat pekerja (penggarap).

H. Dampak Hukum Muzâra’ah Fasid dan Sahih

Akad muzâra’ah menjadi shahih ketika segala syarat telah terpenuhi, berikut pandangan mazhab Hanafi tentang dampaknya : [16]

Pihak penggarap berkewajiban untuk menjaga tanaman.
Biaya operasional tanaman ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai dengan bagian yang disepakati.
Pembagian sesuai dengan kesepakatan.
Akad ini tidak lazim bagi pemilik benih dan lazim bagi pihak yang lain.
Menjaga dan menyiram tanaman adalah kewajiban pihak penggarap bila disiram dengan pengairan. Sedangkan pemilik lahan mempunyai hak paksa kepada penggarap ketika lalai dalam pekerjaannya.

Jikalau syarat yang ada pada akad ini tidak terpenuhi maka ia akan menjadi fasid. Konsekuensinya sebagai berikut : [17]

Pihak penggarap tidak wajib bekerja.
Hasil panen adalah hak pemilik benih.
Jikalau pemilik benih adalah yang punya lahan, maka pihak penggarap pantas mendapatkan upah kerja. Begitupun sebaliknya, jikalau benih millik penggarap maka ia wajib membayar sewa tanah kepada pihak lainnya.
Apabila tidak ada hasil panen, maka pihak penggarap memiliki hak untuk meminta upah. Karena dia serupa dengan penyewaan tenaga.
Upah yang diberikan bisa ditentukan kadarnya.



I. Berakhirnya Akad Muzâra’ah dan Hal-hal yang dapat Memfasakhnya

Ada tiga keadaan yang membuat akad ini berakhir atau fasakh[18]:

1. Berakhirnya waktu akad

Ketika masa akad berakhir, maka berakhir pula akad tersebut. Ini adalah pengertian dari fasakhnya suatu akad.

Apabila masa akad telah selesai dan tanaman sudah membuahkan hasil kemudian hasil tersebut juga sudah dibagikan kepada masing-masing pihak maka berakhirlah akad. Namun, jika waktu akad telah selesai sedangkan tanaman belum membuahkan hasil, akad tersebut harus tetap dilanjutkan walaupun masanya telah berakhir sampai tanaman tersebut berbuah dan bisa dibagikan hasilnya. Hal ini dilakukan demi kemaslahatan bersama antara kedua belah pihak.

2. Meninggalnya salah satu pihak

Ini adalah pendapat Hanafiyyah dan Hanâbilah. Akad berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya sebelum maupun setelah penggarapan. Demikian pula ketika tanaman telah berbuah maupun belum.

Sedangkan Syafiiyah dan Mâlikiyyah berpendapat bahwa muzâra’ah tidak berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak.

Hanafiyyah membedakan antara dampak yang timbul akibat wafatnya salah satu pihak, sebagai berikut :

Ø Dampak yang timbul dari wafatnya si pemilik lahan:

Apabila si pemilik lahan wafat, sedangkan hasil pertanian masih belum dapat dipanen. Maka, lahan tersebut diberikan kepada si penggarap untuk dikelola lagi hingga waktu panen tiba. sedangkan hasil panen tersebut, dibagi antara si penggarap dan ahli waris si pemilik lahan, sebagaimana kesepakatan awal antara si pemilik lahan dan si penggarap.

Ø Dampak yang timbul dari wafatnya si penggarap:

Maka, apabila si penggarap wafat sebelum adanya hasil panen. Maka, bagi ahli warisnya hak untuk melanjutkan warisan pekerjaan dari si penggarap (muwarrits) sesuai dengan syarat yang telah disepakati antara si pemilik lahan dan penggarap sebelumnya.

3. Adanya Uzur Yang Memfasakh Akad

Apabila akad difasakh sebelum lazimnya akad, maka batallah akad tersebut. Menurut Hanafiyyah sifat akad dalam Muzâra’ah adalah ghairu lazim bagi si pemilik benih dan lazim bagi yang tidakkk memiliki benih. Sedangkan menurut Malikiah, akad Muzâra’ah menjadi lazim apabila penggarap sudah memulai pekerjaaannya. Maka, selama si penggarap belum menggarap lahan, ia masih dapat memfasakh akad tersebut.Bagi Hanafiyyah juga diperbolehkan untuk memfasakh akad setelah ia menjadi akad lazim, apabila terdapat uzur. Baik, dari pemilik lahan atau si penggarap. Misalnya: Adanya hutang bagi si pemilik lahan, yang mengharuskannya untuk menjual lahan pertanian, yang sudah disepakati untuk akad Muzâra’ah. Dimana si pemilik lahan tidak memiliki harta lain selain lahan tersebut. Maka, dibolehkan baginya untuk menjualnya karena adanya hutang tersebut, dan berakhirlah (fasakh) akad Muzâra’ah. Karena ia tidak mungkin untuk meneruskan akad tersebut, kecuali dengan menanggung bahaya dari hutang yang dimilikinya.

J. Relevansi Akad Muzâra’ah Dalam Perekonomian Modern

Perkembangan ekonomi syariah pada saat ini begitu pesat, wacana yang ada dalam perekonomian dunia telah membuktikan bahwasanya ekonomi islam sangat cocok dan relevan untuk diterapkan. Begitu banyak bank konvesional yang beralih ke dalam sistem ekonomi Islam, dikarenakan oleh keselarasan ekonomi Islam dengan praktek ekonomi yang ada.

Praktek muamalah yang berbasis Islam telah banyak digalakkan oleh pihak bank contohnya saja musyârakah, mudhârabah, ijârah, dan jenis akad yang lain. Namun sangat disayangkan sekali penawaran yang dilakukan oleh pihak bank terhadap nasabah dalam akad muzâra’ah dan musâqâh masih sangat minim sekali.

Berbeda halnya dengan perekonomian mikro yang berkembang di pedesaan, kita bisa menemukan praktek akad ini walaupun itu juga hanya dalam skala kecil. Karena kondisi yang kita dapatkan di pemukiman kampung mendukung aplikasi akad ini.

Beberapa alasan yang bisa kita paparkan, mengapa aplikasi akad ini sangat jarang ditemukan khusunya dalam pembiyaan perbankan Islam :

Lamanya hasil akan dituai.
Resiko yang ditanggung pihak bank sangat besar ketika praktek akad ini gagal.
Besarnya biaya operasional dan tidak sebanding dengan hasil yang akan didapat.

Namun perbankan syariah perlu melirik pengembangan sistem ini, karena hal yang mesti diingat adalah keagrarisan negara kita yang terkenal subur dan memiliki lahan kosong siap garap. Potensi yang ada pada Indonesia sangat besar dalam hal ini, penerapan akad muzâra’ah dan musâqâh dapat membuka lapangan pekerjaan dan juga dapat membantu negara kita dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Kita menemukan sistem bagi hasil yang ada pada transaksi syariah terdapat di dalam musyârakah, mudhârabah, muzâra’ah, mukhâbarah dan musâqâh. Tiga dari hal ini berkutat pada bidang pertanian. Ini menandakan bahwasanya Islam sangat memperhatikan sektor pertanian dan sejenisnya. Tidak kalah pentingnya lagi di dalam ilmu fiqh juga dikhususkan pembahasan zakat pertanian dan perkebunan. Maqâshid syarî’ah sangat sejalan dengan akad ini, karena dapat membantu manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari hari dalam proses kelangsungan hidup. Akad muzâra’ah dan musâqâh sangat dibutuhkan dalam kehidupan masa ini, bahkan untuk masa yang akan datang.

K. Implikasi (Dampak) dari Sistem Muzâra’ah .

Diterapkannya bagi hasil sistem muzâra’ah berdampak pada sektor pertumbuhan sosial ekonomi, seperti:

Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-pihak yang bekerjasama.
Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani penggarap maupun pemilik tanah.
Dapat mengurangi pengangguran.
Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri menuju swasembada pangan.
Dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopang pertumbuhan ekonomi secara makro.
Mengoptimalkan lahan-lahan yang tidak produktif dan mengubahnya menjadi produktif dan bermanfaat secara luas.

L. Sistem Bagi Hasil Pengolahan Lahan Pertanian dalam Hukum Positif di Indonesia.

Sementara aturan yang mengikat khususnya di Indonesia, pada tanggal 7 Januari 1960 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Adapun yang menjadi tujuan utama lahirnya undang-undang ini sebagaimana dikemukakan dalam memori penjelasan undang-undang itu, khususnya dalam penjelasan umum poin (3) disebutkan:

“Dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya lemah terhadap praktek-praktek yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang kuat sebagaimana halnya dengan perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang agraria diadakanlah undang-undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud”:

Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil.
Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah bergembiralah para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi “sandang pangan” rakyat.[16]

Kemudian dalam rangka perimbangan bagi hasil yang sebaik-baiknya antara kepentingan masing-masing pihak pemilik tanah dan penggarap telah dikeluarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor 714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan perimbangan hak antara pemilik tanah dan penggarap, yang mana dalam keputusan tersebut di atas dikemukakan pada poin kedua menetapkan sebagai berikut: Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik.

Menurut Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, cara pembagian imbangan bagi hasil adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang mengatur mengenai besarnya bagian hasil tanah sebagai berikut :

1 (satu) bagian untuk penggarap dan 1 (satu) bagian untuk pemilik bagi tanaman padi yang ditanam di sawah.
2/3 (dua pertiga) bagian untuk penggarap serta 1/3 (satu pertiga) bagian untuk pemilik bagi tanaman palawija di sawah dan padi yang ditanam di ladang kering.

Sedangkan dalam ayat (2) pasal tersebut mengatur Hasil yang dibagi adalah hasil bersih, yaitu hasil kotor sesudah dikurangi biaya-biaya yang harus dipikul bersama seperti benih, pupuk, tenaga ternak, biaya menanam, biaya panen dan zakat.

Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211 Tahun 1980 Nomor 714/Kpts/Um/9/1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1980 adalah sebagai berikut:

Jumlah biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan panen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 dinyatakan dalam bentuk hasil natura padi gabah, sebesar maksimum 25 persen dari hasil kotor yang besarnya dibawah atau sama dengan hasil produksi rata-rata dalam Daerah kabupaten atau kecamatan yang bersangkutan dalam bentuk rumus seperti berikut:

Z = 1/4X

Dalam mana :

Z = biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga ternak, tenaga tanam dan panen.

X = hasil kotor.

Jika hasil yang diperoleh penggarap tidak melebihi hasil produksi rata-rata Daerah Kabupaten/ kecamatan, maka hasil kotor setelah dikurangi biaya yang dihitung dengan rumus, dibagi dua sama besarnya antara penggarap dan pemilik tanah dalam bentuk rumus 1 : Hak penggarap = Hak pemilik = X-Z = X-1/4X
Jika hasil yang dicapai oleh penggarap diatas hasil produksi rata-rata Daerah Kabupaten/ kecamatan, maka besarnya bagian yang menjadi hak penggarap dan pemilik sebagai berikut:

Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi menurut rumus diatas.

Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara penggarap dan pemilik dengan imbangan 4 bagian penggarap dan 1 bagian pemilik atau dalam bentuk rumus II:

Hak penggarap =Y-Z + 4(X-Y) = Y-1/4Y + 4(X-Y)

Hak pemilik = Y-Z + 1(X-Y) = Y-1/4Y +X-Y

Dimana Y = hasil produksi rata – rata daerah Kabupaten/ Kecamatan yang bersangkutan.

Jika di suatu daerah bagian yang menjadi hak penggarap pada kenyataanya lebih besar dari apa yang ditentukan dalam rumus 1 dan rumus 11 di atas, maka tetap diperlukan imbangan yang lebih menguntungkan penggarap.
Ketetapan Bupati /walikota mengenai besarnya imbangan bagi hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik, serta hasil produksi rata-rata disetiap hektar di Kabupaten/Kacamatan yang bersangkutan diberitahukan kepada DPRD Kabupaten/kota setempat.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No.2 tahun 1960 Pasal 7 zakat sisihkan dari hasil kotor yang mencapai nisob, untuk padi ditetapkan sebesar 14 kwintal.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Pasal 8 pemberi ‘srama’ oleh calon penggarap kepada pemilik tanah dilarang.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Pasal 9, pajak tanah sepenuhnya menjadi beban pemilik tanah dan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap.

M. Sistem Bagi Hasil dalam Tradisi Masyarakat Indonesia

Sistem bagi hasil pengolahan lahan pertanian telah lama dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia dengan berbagai sebutan yang berbeda-beda. ditiap

daerah berbeda-beda penyebutannya seperti :

a. Memperduoi (Minang kabau)

b. Toyo (Minahasa)

c. Tesang (Sulawesi)

d. Maro (1:1), Mertelu (1:2), ( Jawa Tengah).

e. Nengah (1:1), Jejuron (1:2), (Priangan)

Selain tersebut di atas masih ada istilah lain dibeberapa daerah antara

lain:

Untuk daerah Sumatera
Aceh memakai istilah “mawaih” atau “Madua laba”(1:1),”bagi peuet” atau “muwne peuet”, “bagi thee”, “bagi limong“ dimana berturut-turut pemilik memperoleh bagian 1/4,2/3,1/5.
Tanah gayo memakai istilah “mawah”(1:1), tanah alas memiliki istilah “Blah duo” atau “Bulung Duo”(1:1).
Tapanuli Selatan memakai istilah “marbolam”,”mayaduai”.
Sumatera Selatan untuk Jambi memakai istilah “bagi dua”, “bagitiga“, Palembang memakai istilah “separoan”.
Untuk daerah Kalimantan:

Banjar memakai istilah “bahakarun”.
Lawang memakai istilah “sabahandi”.
Nganjuk memakai istilah “bahandi”.
Daerah Bali : istilah umum yang dipakai adalah “nyakap”, tetapi variasi lain dengan menggunakan sebutan “nondo” atau “nanding “ yang berarti “maro”, “nilon “, berarti mertelu(1:2), ”muncuin” atau “ngepatempat” berarti “mrapat”(1:3) dan seterusnya, dimana merupakan bagian terkecil untuk penggarap .
Daerah Jawa : memakai istilah “nengah” untuk “maro”,”mertelu”.
Madura : memakai istilah “paron” atau “paroa” untuk separo dari produksi sebidang tanah sawah sebagai upah untuk penggarap.

[1] Al-Jazairy, ‘Abdurrahman, al-Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah, hlm.5, vol.3, Dar el-Bayan al-‘Arobiyy, Mesir, 2005.

[2] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, Vol. V, Dar al-Fikr, Damaskus, 2008, hal. 482

[3] Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah jilid 12, terjemahan : Kamaluddin A.Marzuki. Hlm 148. Al-Ma’arif: Bandung.

[4] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, op.cit, hlm 483.

[5] Mahmud Abdul Karim Ahmad Irsyid, al-Syâmil fî muamalat wa amaliyyat al-Masharif al-Islâmiyyah, Dar an-Nafais Yordania, 2007, hal.151.

[6] Abu hanifah berpendapat bahwa akah Muzâra’ah pada awalnya merupakan akad Ijarah, baru kemudian berakhir dengan akad syarikah (kerjasama)

[7] Ada dua macam Kharâj. Pertama adalah kharaj wadhifah, yaitu pembagian hasil yang diwajibkan tiap tahun atas bagian dari lahan tertentu yang telah dikuasai (dengan peperangan). Kedua adalah Kharaj muqasamah, yaitu pembagian nisbah tertentu dari hasil panen suatu lahan, setengah misalnya.

[8] Al-Jazairy, ‘Abdurrahman, al-Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah, op.cit. hlm 19

[9] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, op. cit. hal. 484.

[10] Hanâbilah berpendapat bahwa muzâra’ah dan musâqâh tidak memerlukan Kabul secara lisan, cukup si penggarap memulai pekerjaannya sudah dianggap sebagai Kabul

[11] Ibid., hal. 485.

[12] Ahmad Muhammad Mahmud Nassar, Al-Ististmâr Bil Musyârakah Fil Bunûk al-Islâmiyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut, 1971. Hal. 56.

[13] Jumhur ulama sepakat bahwa akad Muzâra’ah akan rusak ketika poin 1 dan 2 terjadi, adapun dalam poin-poin selanjutnya terdapat perbedaan pendapat antara para ulama.

[14] Akad lazim adalah akad yang telah memenuhi segala rukun dan syarat. Dalam akad ini tidak diperbolehkan adanya pembatalan akad secara sepihak tanpa persetujuan pihak yang lain. Lain halnya dalam akad ghairu lazim, salah satu pihak boleh membatalkan akad tanpa persetujuan pihak yang lain.

[15] Ibid., hal 484.

[16] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, op.cit. hal. 491.

[17] Ibid., hal. 494

[18] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, Mausu’ah al-Fiqh al-Islâmî wal-Qadhâya al-Mu’âshirah, op. cit. hal 496-497.

sumber :hanialfarouqy.wordpress.com

Monday, March 13, 2017

Islam Adalah Agama Rahmatan Lil ‘Alamin

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Anbiya ayat 107 yang bunyinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Islam melarang manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah, lihat saja sabda Rasulullah sebagaimana yang terdapat dalam Hadis riwayat al-Imam al-Hakim, “Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan lain yang lebih kecil darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya”. Burung tersebut mempunyai hak untuk disembelih dan dimakan, bukan dibunuh dan dilempar. Sungguh begitu indahnya Islam itu bukan? Dengan hewan saja tidak boleh sewenang-wenang, apalagi dengan manusia. Bayangkan jika manusia memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran islam, maka akan sungguh indah dan damainya dunia ini.

Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, sekali lagi, terbanyak di dunia. Maka melihat keterangan di atas, seharusnya Indonesia menjadi negara yang indah, damai, dan beradab. Tapi lihat saja kenyataannya, kita tidak bisa menutup mata dan telinga dengan pemberitaan sehari-hari yang mengabarkan tentang kisah-kisah menyedihkan dan tak beradab. Mulai dari anak-anak yang melakukan pencabulan, berjudi, menghisab sabu. Remaja tawuran antar sekolah, kumpul kebo, menjadi pengedar, minum-minuman keras. Orang tua yang mencabuli anaknya sendiri, membunuh anggota keluarga sendiri, membunuh karena masalah sepele, bunuh diri, mutilasi, dan sebagainya. Sampai kepada pejabat kita yang melakukan tindak asusila, dan korupsi besar-besaran. Hampir setiap hari kejadian semacam ini keluar di pemberitaan. Sebenarnya apa yang terjadi? Di mana moral mereka? Bukankah sebagian besar dari mereka adalah muslim? Bukankah orang muslim seharusnya menjadi rahmatan lil ‘alamin?

Jika dikatakan tidak berpendidikan sepertinya tidak juga. Saya yakin kebanyakan dari mereka telah mengenyam pendidikan dasar, bahkan tidak sedikit yang sudah sarjana bahkan lebih. Lantas mengapa moral mereka bisa sebegitu hancurnya? Jawabannya adalah tidak memahami dan menjalankan ajaran islam secara kaffah. Jika mereka tahu bahwa membunuh binatang semena-mena saja dilarang oleh islam, mana mungkin sampai berani membunuh sesama manusia, apalagi sesama muslim. Jika mereka tahu bahwa islam melarang untuk mencuri dan menipu dan mereka menjalankan larangan itu, mana mungkin mereka berani melakukan korupsi. Abdullah bin Umar رضي الله عنه mengatakan bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda, “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya; dan orang yang berhijrah (muhajir) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” Sudah sangat jelas bagaimana islam menjelaskan bagaimana ciri orang islam sesungguhnya.

Jika ingin merasakan Indonesia yang damai sejahtera, maka yang harus dibenahi adalah moral bangsanya, bukan sekedar pendidikan belaka. Dan pendidikan moral yang sesungguhnya, yang komplit, dan yang diperintahkan oleh pencipta manusia adalah Islam. Setiap muslim wajib untuk belajar tentang agamanya. Dengan begitu kita akan mampu menjadi khalifah sesungguhnya di bumi sesuai tujuan diciptakannya kita, yaitu menjadi rahmat bagi semesta alam. Sudah semangatkah kita untuk belajar dan mengamalkan islam? Atau kita malah lebih semangat untuk mempelajari dan mengikuti budaya Jepang atau budaya Barat dari Islam? Seberapa banyak buku Islam yang telah kita baca? Mana banyaknya dengan buku-buku selain itu?

sumber : saidalfaraby.wordpress.com
Baca juga