Friday, August 19, 2011

Agama Sikap Mental

Oleh Moeflich Hasbullah
Opini Tribun Jabar, 7 April 2011
a
Dalam kehidupan manusia, tidak ada agama murni, yang ada adalah agama sifat. Dalam fikiran manusia, tidak ada Islam, Kristen, Hindu, Budha yang asli, yang ada adalah agama yang sudah mengalami penyifatan: Islam tradisional, Islam modern, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha Mahayana, Hindu Bali dan seterusnya. Ortodoksi menjadi sifat ketika sekelompok orang mengklaim dirinya Islam Al-Qur’an dan Sunah. Demikian juga dengan Islam penjaga warisan ulama. Organisasi dan madzhab menjadi sifat ketika sudah menjadi identitas dan simbol-simbol kelompok. Ketika agama ditempeli sifat-sifat, saat itu agama menjadi distorsi karena berubah menjadi ekspresi kelompok.
Dalam realitas, penyifatan adalah alami dan tak bisa dihindari. Mengatakan hanya “saya Islam” atau “saya Kristen” itu masih di langit. Saat kita menyebutkan aktifitas, komunitas dan lingkungan organisasi, saat itulah agama sifat kita tunjukkan. “Katakan teman-teman Anda, akan saya tunjukkan siapa Anda!” kata pepatah Assyria. Labeling tidak selalu akurat tapi memberikan informasi tentang afiliasi. Aktifitas dan simbol—simbol perilaku seseorang menunjukkan afiliasinya pada sesuatu.
Pengurus PMII pasti orang NU, anggota Muhammadiyah tidak melakukan istighasah, aktifis FPI adalah radikal, menolak syari’at Islam adalah Islam liberal, pengamal wirid adalah kelompok tarekat. Ketika kita berkubang dalam realitas sosial, kita akan ditempeli identitas-identitas sosial, yang terbentuk atau dibentuk orang, sadar atau tidak sadar. Labeling ditunjukkan saat kita menyebutkan aktifitas dan komunitas. Komunitas tidak selalu formal dan organisasional.
Agama sifat adalah sebuah pesan tentang keharaman absolutisme. Tidak ada yang berhak mengaku paling benar selama kita berada dalam agama sifat dan tidak akan sampai pada kebenaran sejati selama kita berkelompok. Fitrah berkelompok adalah membela kelompok itu melebihi esensi dan tujuan kelompok itu sendiri. Orang yang sudah terjebak dalam faham organisasi dan madzhabnya cenderung sulit melihat kebenaran yang dibawa oleh kelompok lain.
Semua sifat dan kelompok agama memiliki karakter yang sama. Sebagai sifat adalah tafsir, sebagai tafsir adalah distorsi, sebagai kelompok semuanya subsistem, sebagai gerakan semuanya menyuarakan kepentingan, sebagai perbedaan adalah konfigurasi, sebagai budaya adalah khazanah. Agama sifat memiliki wilayah dan peran habitatnya masing-masing yang menjadi karakternya: sebagian berkiprah di medan wacana, sebagian terjun dalam gerakan, sebagian lain advokator simbol-simbol.
Seperti ditunjukkan dalam komunitas Muslim, interaksi semua Islam sifat ini bersebrangan satu sama lain: Islam radikal berhadapan dengan Islam moderat, Islam tekstual dengan Islam liberal, Islam tradisional berhadapan dengan Islam modern. Semuanya memainkan peran yang sama: membentuk sub, memerankan bagian, memainkan karakter kelompok dan menghadirkan distorsi.
Sifat-sifat sebagai kelompok agama tidak mungkin didamaikan dan dipersatukan kecuali melakukan salah satu dari dua ini: melepaskan sifat yang alami atau melakukan semua sifat sebagai sebuah kesempurnaan. Tetapi, keduanya tidak mungkin. Dalam sejarah, yang pernah memerankan pemersatu hanya dua: nabi atau negara. Kini, nabi tidak ada lagi dan negara tidak berkepentingan dengan persatuan faham-faham agama. Sebagai institusi sekuler, tugas negara adalah menegakkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi semua warganya. Bila dari kalangan umat tidak mungkin karena unsur subyektifitas dan vested-interest, nabi tidak akan ada lagi dan negara tidak perlu diharapkan masuk ke dalam urusan intern agama, lalu siapakah yang bisa menyatukan kelompok atau mendamaikan sifat-sifat dari agama? Tidak ada dan tidak perlu. Ide persatuan sebagaimana diidealkan oleh semua penganut agama tidak pernah terwujud dalam sejarah. Yang ada bukanlah persatuan faham-faham agama, melainkan masa-masa dominasi, kejayaan atau kemunduran agama. Persatuan persepsi, meminjam ungkapan Ben Anderson, hanyalah sebuah “imagined community.” Kecuali zaman Nabi, persatuan kelompok-kelompok intern agama tidak pernah tercipta karena bertentangan dengan hukum alam dan relativitas persepsional. Beragama yang benar bukanlah berusaha menyatukan kelompok-kelompok dan mendamaian aliran-aliran, melainkan menjadi yang terbaik dalam konfigurasi perbedaan. “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” Kata Al-Qur’an (5:48).
Yang terbaik bukanlah kelompok, organisasi, madzhab, tafsir atau pemikiran sebuah agama, melainkan sikap mental penerimaan atas perbedaan dan penghargaan pada kelompok lain, kesadaran atas keragaman dan penghindaran atas klaim kebenaran sendiri, sikap mental saling merelatifkan pikiran bahwa seyakin apapun pemahaman kebenaran hanyalah sebuah tafsir dan kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan. Beragama adalah sikap saling menghargai dengan tulus bahwa apa yang dilakukan kelompok lain ada konteksnya tersendiri, ada hidden truth yang tidak harus selalu berhasil dirasionalisasi. Seorang Kristiani yang baik belum tentu yang rajin ke gereja sebagaimana Muslim yang rajin ke masjid belum tentu seorang yang takwa. Rumah ibadah hanyalah simbol-simbol formalitas beragama. Kristen yang benar bukan Katolik atau Protestan sebagaimana Islam yang benar bukanlah NU, Muhammadiyah atau FPI. Beragama yang benar seperti kata Cak Nur adalah “sikap pasrah pada kebenaran itu sendiri” (hanif). Beragama yang benar adalah kesadaran untuk terus menerus mencari hakikat kebenaran seperti ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS.
Kebenaran bukanlah identitas dan lingkungan simbolik, melainkan sikap mental dan kesadaran untuk terus menerus mencari kebenaran puncak. Kelompok Islam yang benar bukanlah Syi’i atau Sunni, bukan Muhammadiyah atau NU, bukan Islam liberal atau radikal, melainkan mereka yang berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairât), saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran (tawâshaubil haq wa tawâshaubil shabr). Bila ini dihayati, akan sampai pada penemuan bahwa keyakinan beragama yang benar bukanlah “the truth is out there,” melainkan “the truth is inside here!” yaitu dalam kelapangan dada dan kebesaran jiwa pemeluk-pemeluknya. Wallahu a’lam!![]

No comments:

Post a Comment