Thursday, August 25, 2011

Tingkatan-tingkatan Motivasi Menikahi Perempuan

Ayat Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi: “… fankihû mâ thâbalakum minannisâ-i matsnâ wa tsulasâ wa rubâ’a …” umumnya diartikan sebagai perintah untuk menikah yang dibolehkan lebih satu, yaitu dua, tiga atau empat seperti jelas terbaca dari bunyi teksnya. Dalam kesadaran taubikh, makna ayat itu lebih dalam dari itu. Ayat ini sebenarnya juga menjelaskan tentang tingkat-tingkat motivasi pernikahan. Seperti dijelaskan dalam uraian berikut ini, ada lima tingkat motivasi pernikahan sebagai tafsir taubikh dari bunyi ayat tersebut.
_________________________
1. Motivasi Tingkat Uhada
Pertama, motivasi pernikahan tingkat uhada. Di tingkat uhada (pertama) seorang lelaki menikahi perempuan karena motivasi seks dan biologis semata. Di tingkat motivasi ini, ia tak ada bedanya dengan binatang. Ini adalah dorongan yang paling rendah dalam menikah. Dorongan kebutuhan seks umumnya adalah yang paling banyak mendorong laki-laki menikah dan menikah lagi. Tujuan nikah bukan hanya untuk seks, yang lebih penting adalah untuk beribadah kepada Allah dan menjaga diri, membangun rumah tangga, menciptakan ketenangan jiwa, menjaga normalitas hidup, membuat keturunan dan menciptakan ketertiban masyarakat. Bila motivasi dan tujuan yang dominan dalam pernikahan hanya seks, kualitasnya paling rendah sama dengan binatang.
Orang seperti ini akan mengabaikan aspek-aspek lain yang sangat penting dalam pernikahan seperti unsur agama, amanat, pendidikan keluarga dll. Nabi sendiri dalam sebuah haditsnya menganjurkan agar menikahi perempuan lebih mempertimbangkan agamanya: “Tunkahul mar’atu li-arbain: limâliha, lihasâbiha, lijamâliha, walidîniha, fadhfur bidzâtiddini taribat yadâka” (Wanita dinikahi disebabkan empat hal: karena kekayaannya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena ketaatan agamanya. Nikahilah wanita karena ketaatan agamanya, niscaya kamu akan bahagia). Bila, motivasi menikah hanya seks, maka pertimbangan dalam memilih perempuan pasti dominan soal fisik dimana ukurannya hanya cantik dan seksi. Ini adalah pernikahan yang kualitasnya rendah dan akan jauh dari kebahagiaan.
2. Motivasi Tingkat Mutsana
Naik satu tingkat di atasnya adalah kualitas mutsana. Di tingkat kedua ini, seseorang menikahi perempuan karena motivasi ‘kelengkapan hidup.’ Seorang lelaki menikahi perempuan karena tradisi, kebiasaan, karena ingin punya istri, anak dan keluarga. Dia berfikir akan lengkap hidupnya dengan menikah karena akan memiliki istri dan anak. Normallah dia sebagai anggota masyarakat. Jadi, pertimbangan utamanya adalah kelengkapan hidup. Zaman sekarang yang bebas, banyak orang yang bisa memenuhi kebutuhan biologisnya tanpa menikah seperti berzina dengan pacarnya atau pasangan hidupnya yang tidak halal (seks bebas alias kumpul kebo). Dalam fikirannya untuk apa repot-repot menikah? Bagi orang seperti ini, nikah tidaklah sakral, hanya sekadar formalitas bahkan dianggapnya akan membatasi kebebasan hidupnya. Karena merasa sudah kenyang dan gampang memenuhi kebutuhan seks, akhirnya, pertimbangan nikah menjadi formalitas saja. Ia hanya butuh pelengkap hidup saja.
Motivasi “pelengkap hidup” banyak terjadi pada laki-laki atau perempuan yang lebih mementingkan pekerjaannya, karirnya atau posisinya daripada bercita-cita membangun keluarga yang bahagia. Waktunya habis dipakai untuk mengejar-ngejar karir dan uang. Banyak orang, dari keasyikannya bekerja, meniti karir dan mencari uang, kewajiban nikah pun terabaikan, tidak ada waktu memikirkan pasangan. Tanpa terasa, akhirnya usia sudah lewat dan setelah butuh ternyata mau nikah pun tidak gampang. Jodoh tak kunjung tiba. Akhirnya, bagi orang seperti ini, banyak yang menikah dengan motivasi sebagai ‘pelengkap’ saja. Ia siap nikah yang penting statusnya punya suami atau punya istri, karena malu sendirian terus. Banyak juga yang siap menjadi istri simpanan. Kalau sudah begini, niat nikahnya sudah tidak benar, rumah tangganya akan banyak masalah dan kebahagiaan hidup tidak akan didapatkan. Dengan motivasi sebagai ’pelengkap hidup,’ unsur-unsur lain yang lebih penting tidak akan terpikirkan atau tidak dipertimbangkan. Tidak akan membayangkan bagaimana memiliki keluarga bahagia, mendidik istri dan anak-anak yang baik dan benar, bagaimana keluarga akan dibangun dst.
3. Motivasi Tingkat Tsulatsa
Tingkat tsulatsa (ketiga) adalah tingkat motivasi dimana seseorang menikahi perempuan karena tujuan ‘kemuliaan hidup.’ Dia berfikir, hidup dengan menikah akan lebih mulia daripada hidup sendirian, melajang atau tidak menikah. Dibandingkan dengan membujang, hidupnya dibayangkan akan terpandang dan terhormat di masyarakat bila memiliki istri. Merasa akan lebih mulia di hadapan orang lain dan masyarakat dengan memiliki status sebagai suami dan kepala rumah tangga. Dengan menikah orientasi hidup menjadi jelas dan terarah. Disini menikah adalah sebuah pilihan rasional. Dia menimbang-nimbang bisa saja hidup sendirian, persoalan kebutuhan biologis mungkin bisa diatur, mungkin mudah mendapatkannya, tapi dia berfikir, menikah dan punya istri tetap lebih baik, lebih mulia sebagai manusia. Menikahlah ia atas pertimbangan pilihan rasional semata yang tak dihubungkannya dengan ibadah dan perintah agama.
4. Motivasi Tingkat Ruba’a
Tingkat ruba’a atau keempat, adalah motivasi menikah karena ketaatan pada agama. Bila di tingkat tsulatsa adalah pilihan rasional dan pertimbangan masyarakat, di tingkat ruba’a pertimbangannya adalah agama, titik. Ketakutan berdosa dan ketaatannya pada ajaran agama mendorongnya untuk ingin cepat menikah tanpa banyak pertimbangan, apalagi sudah ada calon untuk dinikahinya. Karena motivasinya adalah ketaatan agama dan ketakutannya berbuat dosa, maka demi keyakinannya itu, lingkungan dan pandangan masyarakat tidak terlalu dihiraukannya. Misalnya, seorang pemuda berumur 25 tahun jatuh cinta pada seorang perempuan. Tidak ada yang lain difikirannya kecuali ketakutan terjebak dalam dosa lalu ia melamar perempuan itu untuk dinikahinya padahal ia belum punya apa-apa. Ia ingin menikah tanpa memikirkan dan menghitung ini-itu, kerja atau tidak, bisa makan atau tidak. Yang penting selamat dari dosa, titik. Pemuda seperti ini, dalam sebuah hadits disebutkan sebagai golongan yang wajib mendapat pertolongan Allah: “Tsalátsatun haqqa ‘alalláhi ‘awnuhum: Al-Mujáhidu fí sabililláh, wal mukátibu alladzi yurídul adá-a, wannákihu alladzi yurídul ‘afáf” (Tiga golongan yang berhak mendapat pertolongan Allah: pejuang di jalan Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi utangnya dan orang yang ingin menikah karena ingin menjauhkan diri dari hal yang haram).
Contoh lain, seorang bujangan dari keluarga berada atau ia sukses dan ekonominya maju tapi susah mendapatkan jodoh. Ia menikahi peremuan yang status sosialnya jauh dibawahnya karena pertimbangan agama yaitu keshalehan dan ketaatannya ibadahnya semata, padahal tidak cantik alias biasa-biasa saja. Komentar orang, semua mengatakan “sayang,” “tidak seimbang.” Tapi ia tidak perduli, tidak memikirkan pandangan dan komentar masyarakat, yang penting melaksanakan perintah agama bahwa ia harus segera menikah dan ia sudah menentukan calonnya yang taat agamanya. Atau misalnya, seorang perempuan jatuh cinta berat pada seorang lelaki yang sudah beristri. Ia merasa cocok, sekufu, punya orientasi yang sama, agamanya kuat, bisa membimbing dst. Kemudian, karena kuat saling mencintai dan berpisah tidak sanggup, daripada berdosa dan mendapat murka Allah, dia bersedia dinikahi sebagai istri muda agar tidak berzina. Tak perduli dengan keluarga, teman-teman dan masyarakatnya. Inilah motivasi agama. Ulama yang lurus secara umum berada pada level ini. Kiayi pesantren yang menikahi santrinya sebagai istri pertama atau kedua, banyak pertimbangannya karena agama untuk mengurus pesantrennya. Tidak berfikir yang lain-lain. Karena keshalehannya dan potensial untuk dijadikan istri kiayi, untuk membantunya memperjuangkan agama, mengembangkan pendidikan dan masyarakat, ia menikahinya tanpa pertimbangan yang lain-lain.
5. Motivasi Tingkat Khumasa
Terakhir, yang paling tinggi adalah motivasi menikah sebagai memperjuangkan kebenaran. Di tingkat ini, seseorang menikahi perempuan bukan hanya soal seks, kelengkapan hidup, kemuliaan hidup dan agama melainkan memperjuangkan kebenaran. Keharusannya menikah karena ingin memelihara diri yang dihayatinya sebagai ketaatan pada agama tapi mendapat kendala dan tantangan. Misalnya tidak mendapat persetujuan, padahal keduanya saling mencintai dan siap menikah. Kendala dari keluarga dan tantangan orang-orang ini dia rubah menjadi perjuangan. Karena niatnya mulia membela “kebenaran,” maka tidak ada yang ditakutkan di dunia ini kecuali Allah SWT. Karena membela kebenaran, keyakinannya menjadi bulat dan tidak ada keraguan sedikitpun walaupun resikonya besar, misalnya kehilangan pekerjaan, dijauhi keluarga atau kehilangan nyawa sekalipun. Menikah yang pertama atau poligami juga sama. Motivasinya khumasa bermaksud untuk menyelamatkan dirinya dari pelanggaran agama dan murka Allah SWT. Karena hal ini diyakininya benar dan dirasakannya sebagai kebenaran, maka menikah baginya adalah memperjuangkan kebenaran. Maka siapapun dihadapinya tanpa rasa takut. Apapun akibatnya tidak perduli dan siap menghadapinya. Inilah tingkat tertinggi dalam motivasi pernikahan. Bila berhasil apalagi kemudian mampu membuktikan kepada keluarga dan lingkungannya bahwa ia benar, pernikahan seperti ini akan mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan yang besar.[]
Sumber : Moeflich Hasbullah dan Endang Somalia

No comments:

Post a Comment